Selasa 23 Jul 2019 06:13 WIB

Tasbih Kupu-Kupu Pengarang

Selama hidupnya, baru kali ini ada kupu-kupu yang bisa bicara seperti manusia.

Tasbih Kupu-kupu Pengarang
Foto: Rendra Purnama/Republika
Tasbih Kupu-kupu Pengarang

Seorang pengarang sudah merasakan tanda-tanda kematiannya semakin dekat. Namun, ia hanya ingin mati di pangkuan mantan pacarnya. Dalam benaknya, mati dalam keadaan seperti itu alangkah indahnya.

“Mati di bulan Ramadhan itu bagus sekali. Tapi caranya itu tidak etis,” kata teman-temannya.

“Aku merasakan jatuh cinta yang pertama kalinya pada dia. Ketika aku tidak ditakdirkan Tuhan menikah dengan dia, aku ikhlas. Aku pun memilih hidup sendiri. Tapi, aku ingin sekali mati di pangkuannya. Itu permintaanku yang terakhir pada Tuhan. Cukup itu saja. Bukan soal etis dan tidak.”

“Istighfar… istighfar…istighfar. Kalau ia sudah menikah, kau bisa dibunuh suaminya!”

Pengarang itu malah terbahak.

***

Untuk mewujudkan keinginannya, pengarang berambut panjang dan kurus itu ingin berubah jadi kupu-kupu. Dalam pikirnya, dengan dua sayapnya itu, ia bisa terbang mencari dan menemui mantan pacarnya itu.

Ia yakin keinginannya itu akan dikabulkan Tuhan. Apalagi ini bulan suci Ramadhan. Di bulan penuh berkah ini, Allah pasti mengambulkan permintan hamba-hambanya. Makanya di penghujung Ramadhan ini, di antara malam seribu bulan, ia terus meningkatkan ibadahnya sekuat tenaga.

Dan setelah puluhan kali merayu Tuhan dengan merapalkan doa-doa yang khusyuk, kini di sepertiga malam kira-kira pukul satu dini hari, ia semakin kencang berzikir dengan biji-biji tasbih sambil memohon dirinya berubah menjadi kupu-kupu.

Malam semakin malam. Hening semakin hening. Dingin semakin dingin. Pengarang itu merasakan dari punggungnya tumbuh dua sayap. Gerakannya lembut dan pelan seperti sekuntum bunga yang baru merekah.

Pada dua sayapnya itu terdapat bintik-bintik hitam, merah, kuning, hijau, dan oranye. Warna-warni di sayapnya itu begitu indah. Tubuh pengarang itu berubah juga seperti tubuh kupu-kupu.

Perlahan-lahan ia mengepakkan sayapnya terbang keluar rumah melalui lubang jendela. Ia menatap rumahnya dengan mata sendu dan jiwa pilu, karena akan ditinggalkan dalam waktu lama, bahkan bisa selama-lamanya.

Setelah terbang begitu jauh di udara, dilihatnya sebuah rumah mungil dan halamannya ditumbuhi pohon-pohon rindang serta berbagai jenis bunga yang bermekaran. Ia merasakan bukan main harumnya bunga-bunga itu, tercium hingga ke langit.

“Mungkinkah itu rumah mantan pacarku? Bukankah dulu ia senang sekali menanam dan merawat bunga-bunga?”

Dengan segera, ia arahkan sayapnya ke rumah itu. Lalu hinggap pada bunga mawar yang baru mekar. Namun di rumah itu hanya ada seorang kakek yang sedang duduk di teras rumah. Melamun. Sendiri. Ditemani segelas kopi panas.

Pengarang itu kecewa sekali dan terbang kembali. Melewati hutan, gunung, dan laut. Ia masih punya harapan bisa bertemu dengan mantan pacarnya dan kemudian mati di pangkuannya.

Sejak dulu cintanya pada mantan pacarnya tidak pernah berubah. Sayangnya, perempuan itu meninggalkan dirinya tanpa pamit kepadanya.

Mengenang kembali pada masa lalunya, pengarang itu merasa terpukul. Sambil terbang di udara, ia menahan jerit rindu, merasakan kehilangan yang begitu dalam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement