Senin 22 Jul 2019 12:12 WIB

Mudik ke Kampung Majikan

Untuk apa orang-orang mudik? Ya, untuk bertemu keluarga, melepas rindu.

Mudik ke Kampung Majikan
Foto: Rendra Purnama/Republika
Mudik ke Kampung Majikan

Ajakan yang tak disangka-sangka itu datang di waktu berbuka puasa, ketika saya tengah mengunyah kurma asli dari Arab yang dibawa Pak Boni dari perjalanan umrah sebulan yang lewat. Kurma yang lebih legit dari yang pernah saya makan selama ini.

“Dil, Lebaran ini ikut sama saya ke kampung, mau?” tanya Pak Boni.

Saya belum sempat menjawab, Pak Bo ni sudah mengajukan pertanyaan serupa ke Bardam.

“Dam, kamu juga ikut. Mau?”

Bardam bingung hendak menjawab apa. Menoleh ia ke arah saya. Mulutnya masih menggigit bakwan jagung bikinan istri Pak Boni.

“Jangan banyak mikir,” kata Pak Boni.

Saya dan Bardam saling melirik, menimbang ajakan Pak Boni.

Nggak usah sungkan. Mau, kan?”

“Mmm, mau, Pak,” kami menjawab serempak.

“Oke. Berarti tahun ini kita semua mudik ke kampung saya.”

Buka puasa bersama di meja makan itu berlangsung tanpa dua putri Pak Boni, Selena dan Camila. Keduanya berbuka di luar bersama teman-temannya. Di hari-hari terakhir Ramadan, suasana buka puasa di rumah Pak Boni lebih sering sepi.

Pak Boni sendiri juga biasanya baru pulang dari kantor selepas Isya. Namun, hari ini tak seperti biasanya, Pak Boni pulang lebih cepat.

“Bilang sama anak-anak, kita mudik naik mobil,” kata Pak Boni kepada istrinya.

Lho, kok naik mobil, Pa?” protes Bu Boni.

“Sekali-sekali naik mobil-lah kita.”

“Ya, tapi anak-anak mana mau.”

“Mau. Siapa bilang nggak mau. Mereka kan belum pernah merasakan perjalanan darat lintas Sumatra.”

Bu Boni tak membantah. Sambil mengunyah kolak pisang, dia bolak-balik menatap saya dan Bardam serta suaminya. Tak lama, dia beranjak dari kursinya, pergi shalat Maghrib.

Pak Boni masih makan nasi, dan mempersilakan kami makan.

“Mau shalat dulu, Pak,” saya minta izin.

“Ya, Pak. Saya juga,” Bardam mengikuti.

Pak Boni tinggal sendiri di meja makan, menyuap nasinya dengan tangan sambil mengangkat kaki kanannya ke atas kursi. Di kamar basuh, sambil berwudhu, saya berbisik-bisik kepada Bardam.

“Dam, kampung Pak Boni di Medan, kan?”

“Iya, Pak,” kata Bardam.

“Kamu pernah diajak ke sana sebelumnya?”

“Baru kali ini.”

Memang, saya dan Bardam sama-sama belum lama bekerja untuk Pak Boni. Bardam direkrut setahun yang lalu sebagai sopir pribadi Pak Boni. Menurut Bardam, Pak Boni merekrutnya lantaran belum begitu mahir menyetir, meskipun kepadanya, Pak Boni beralasan butuh sopir karena penglihatannya agak rabun.

Sedangkan, saya sendiri baru enam bulan diperkerjakan sebagai penjaga rumah sekaligus tukang kebun. Tugas saya, kecuali memasak dan mencuci dan berbelanja kebutuhan rumah, adalah memastikan rumah dan halamannya aman dan bersih.

Bagi saya, ajakan Pak Boni tak masalah. Sebab, saya memang tak punya kampung halaman—lebih tepatnya, tak punya sanak saudara dan keluarga—untuk dikunjungi di hari Lebaran. Semua keluarga saya; istri, empat anak, orang tua, sepupu, meninggal dunia dihempas Tsunami Aceh tahun 2004 silam.

Saya kebetulan selamat lantaran saat itu berada di Medan. Setelah musibah itu, saya tak pernah lagi pulang, merantau ke Jakarta, bekerja apa saja yang saya bisa untuk meneruskan hidup.

Sebelum bekerja di rumah Pak Boni, saya lama bekerja di bengkel, kurang lebih sepuluh tahun. Terakhir saya menjadi sopir pribadi seorang dosen, dan berhenti ketika anak si dosen mahir menyetir dan menggantikan peran saya mengantarkan bapaknya.

Lain halnya dengan Bardam. Ia sebenarnya masih punya keluarga. Namun, anak muda 23 tahun itu tak mau pulang. Ia telanjur sakit hati pada orang tuanya yang telah membuangnya ketika ia dilahirkan karena rupanya yang amat buruk.

Ia kemudian dibesarkan di panti asuhan, dan kabur saat usianya 14 tahun. Dengan demikian, ajakan Pak Boni juga tak masalah baginya. Malahan, ia sangat senang karena dapat merasakan pengalaman pertamanya ke Sumatra.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement