Senin 15 Jul 2019 06:11 WIB

Asal Usul Sebutan Belanda Depok; Bekas Budak Jadi Tuan Tanah

Belanda Depok adalah ejekan karena mereka selalu memakai pakaian ala Belanda

tugu Cornelis Chastelein, Depok
Foto:
Sinyo dan Noni perwakilan dari 11 marga Kaoem Depok dalam peringatan, 305 tahun Kaoem Depok, Sabtu (14/7).

Generasi ke 8 Kaoem Depok dari marga Loen, Boy Loen (69) mengatakan Kaoem Depok memiliki tanah dan menjadi orang berada, karena mereka penguasaan Belandanya bagus, Kaoem Depok juga mendapat keistimewaan seperti orang Eropa. “Mereka boleh dan mampu menyekolahkan putra-putri mereka ke sekolah Belanda, bahkan hingga ke Belanda sekalipun,” kata Boy. Sehingga saat mereka lulus, putra-putri Kaoem Depok ini mudah menjadi Ambteenar atau pegawai negeri bahkan hingga Indonesia merdeka.

Kaoem Depok pun menjadi kelompok Mardijkers, istilah untuk para bekas budak yang telah dimerdekakan dan mengikuti gaya hidup Eropa. Ketimpangan ekonomi antara warga pribumi baik non Mardjikers dan Kaoem Depok pun terjadi. Tidak jarang pada saat itu warga sekitar Depok menjadi penggarap tanah pertanian Kaoem Depok.

Ferdy mengatakan dari gaya hidup yang ala Belanda hingga tingkat kesejahteraan yang lebih baik dari pribumi lain lahirlah ejekan ‘Belanda Depok’. Ejekan itu, sebut Ferdy terjadi ketika wilayah Jakarta atau Batavia saat itu sudah terhubung akses rel kereta ke Depok hingga Bogor.

“Saat itu Depok sudah mulai ramai, banyak warga pribumi naik kereta dari dan mau ke Batavia atau Bogor, melalui Depok. Saat sampai di Stasiun Depok (kini Stasiun Depok lama), Kaoem Depok yang naik selalu mencuri perhatian warga pribumi biasa. Sebab mereka berbusana ala Belanda, berbicara bahasa Belanda. Orang Bogor menyebut mereka ‘Belanda Depok’,” papar Ferdy.

Status kepemilikan tanah partikelir Kaoem Depok dibubarkan saat pemerintahan Republik Indonesia terbentuk. Pada 1950 secara resmi pemerintah Indonesia melikuidasi atau menghapus status kepemilikan seluruh tanah partikelir pada masa kolonial Belanda, termasuk di dalamnya pemerintahan partikelir Gemeentebestuur Depok, dan status kepemilikan diberikan ke pemerintah Indonesia. Dalam proses likuidasi tanah partikelir Depok tersebut, sesuai perjanjian pada 20 Juni 1952, pemerintah Indonesia membayar Rp 229.261 kepada Kaoem Depok yang diwakilkan dalam Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC).

photo
Gedung Pastorie, yang kini menjadi Kantor YLCC. (Amri Amrullah/Republika).

Ketua Yayasan YLCC Chico Jinny Tangke Allo– Tholense mengatakan sebagian tanah yang berstatus kepemilikan oleh 12 marga Kaoem Depok, kemudian dikembalikan pemerintah Indonesia, dan sebagian lain dikelola secara komunal oleh Yayasan Lembaga Cornelis Chalestein (YLCC). Dari seluruh warisan yang tersisa hanya ada 9 bangunan dan tanah yang saat ini dimiliki YLCC, di antaranya sekolah, gereja, gedung Gemeentebestur, gedung pastorie, balai pertemuan, lapangan olahraga, tanah pekuburan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement