Jumat 12 Jul 2019 16:58 WIB

Fondasi Ketahanan Bangsa adalah Keluarga yang Bahagia

Berkurangnya komunikasi dapat menganggu tujuan menciptakan keluarga bahagia

Ilustrasi sekeluarga mengaji, mengaji sekeluarga, mengaji bersama, ngaji bersama
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Ilustrasi sekeluarga mengaji, mengaji sekeluarga, mengaji bersama, ngaji bersama

Sejauh apa pun kita melangkah, tempat kembali adalah keluarga. Sebab keluarga adalah bagian penting dari diri kita, tempat kita tumbuh dan dibesarkan. Ada ayah, ibu,  kakak dan adik. Kala diri tertimpa musibah atau kesulitan, yang teringat pertama kali adalah mencari bantuan pada keluarga. Pun ketika kita bergelimang kenikmatan, rasanya puas jika kebahagiaan itu dibagi bersama keluarga.

Di dalam Islam, fungsi berkeluarga tak hanya menjadi  penyempurna separuh iman  atau sekedar mengikuti sunnah Rasul, akan tetapi lebih dari itu. Keluarga bisa menjadi benteng akhlaq,  tempat memperoleh ketenangan, mendapatkan keturunan, dan sebagai investasi akhirat. Maka keluarga yang harmonis dalam perspektif islam adalah keluarga yang mampu mencapai sakinah, mawaddah dan warahmah (samawa). 

Baca Juga

Namun seiring waktu, dengan berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi, fungsi-fungsi keluarga tersebut hilang. Era digital menjadi salah satu faktor pemecah keterikatan antar anggota keluarga.  Keharmonisan keluarga tergantikan oleh keberadaan gadget. Kehadiran gadget seperti handphone, TV, tablet (Ipad, Android), video games serta komputer, seolah menjadi kebutuhan premier bagi keluarga modern. 

Kini, era media sosial pun ternyata ikut  memicu hadirnya permasalahan baru di dalam keluarga, seperti kecanduan gim dan aktivitas medsos lainnya. Hal ini mengalihkan perhatian tiap individu kepada hal-hal baru yang menguras waktu. Ada yang rela berjam-jam berselancar di dunia maya sampai lupa makan dan minum, lalai melakukan ibadah bahkan berani meninggalkan apa yang  menjadi kewajibannya.

Coba lihat, tak jarang kita dapati, meski berada di satu ruangan yang sama, sepasang suami istri dan anak-anaknya tidak membangun komunikasi. Masing-masing sibuk dengan gadgetnya. Tak ada kehangatan didalam rumah, canda tawa atau sekedar memberi perhatian setelah sekian jam sibuk  beraktivitas di luar rumah. Padahal idealnya, ada waktu-waktu tertentu yang sangat berharga untuk dilewatkan bersama-sama, yang dapat menumbuhkan rasa cinta di dalam keluarga. 

Bahkan, duduk berdampingan di satu meja makan  sambil bercengkerama dengan seluruh anggota keluarga rasanya menjadi moment yang langka saat ini. Orang mulai sibuk dengan gadgetnya. Tidak fokus dan sering kali acuh terhadap lawan bicaranya. Lama kelamaan sensitifitas seseorang terhadap lingkungan sekitarnyapun berkurang. 

Pada dasarnya gawai dapat digunakan secara lebih bijaksana asalkan ada komitmen yang disepakati bersama agar penggunaannya tidak melewati batas. Sebab gawai juga memiliki manfaat yang positif yaitu kemudahan dalam mengakses informasi. Setiap orang kini dapat mengumpulkan informasi yang dibutuhkan dimana pun dan kapan pun tanpa harus keluar rumah.

Maka ayah dan ibu selaku orang tua harus memberikan arahan kepada putra dan putrinya bahwa keutamaan bertatap muka, mendengarkan dan berbicara dari hati ke hati dengan keluarga adalah hal yang penting. Sebab semakin berkurangnya komunikasi keluarga, dapat berakibat buruk bagi keharmonisan keluarga. 

Di sisi lain, Islam sudah mengatur bagaimana peran ayah dan ibu di dalam keluarga. Masing-masing harus menjalankan kewajibannya dengan ikhlas sebab ada amanah yang mesti dijaga dan  dipertanggungjawabkan kelak dihadapan Allah Swt. Tugas mendidik dan menciptakan generasi unggul yang bertakwa menjadi tujuan yang utama. Sebagaimana seruan Allah Swt di dalam firmanNya ;

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”  (Qs. at-Tahriim: 6)

Disinilah perlunya peran orangtua dalam mengkondisikan aktivitas di dalam rumah dan di luar rumah agar tetap bejalan sebagaimana mestinya. Ayah dan ibu harus mampu bekerjasama  membangun ketaatan kepada Allah Swt, seperti memberlakukan pembiasaan ibadah sunnah, menjadwalkan murojaah quran bersama-sama, melatih bersedekah dan sebagainya. Semua aktivitas ditujukan hanya demi menggapai ridha Allah Swt. 

Dan Rasululloh adalah pemberi tauladan terbaik bagi kita.  Beliau memberi contoh bagaimana membangun keharmonisan di dalam keluarga. Ketakwaan di bangun dengan cara menanamkan akidah sedini mungkin. Kedisplinan dalam beribadah diterapkan dengan tegas sehingga fungsi agama tidak dipisahkan dari kehidupan sebagaimana realitas yang ada di masyarakat sekuler sekarang.

Dengan begitu, sensor keluarga akan bekerja dengan sendirinya. Contoh, jika  ayah sebagai pemimpin mulai melenceng dari tugas utamanya, seperti melanggar syariat atau semisalnya, ia harus mau dikoreksi dan diingatkan agar kembali kejalan yang benar. Pun berlaku sebaliknya bagi ibu yang berperan sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Otomatis, tiap anggota keluarga akan saling mengoreksi dan memotivasi dalam kebaikan.

Sebagaimana Allah katakan di dalam firman-Nya:

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal dan shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Qs.al-Kahfi: 46)

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement