Jumat 10 May 2019 08:03 WIB

Berjalan Menembus Batas

Batas keadaan bukanlah jurang yang akan menghalangi langkahmu

Ibu dan anak (ilustrasi)
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Ibu dan anak (ilustrasi)

Matahari belum memincingkan matanya dari timur jendela kamar saat aku mengintipnya setelah Shalat Subuh lima belas menit yang lalu. Di belakang rumah, tiga ayam jago sudah membuat keributan dengan terus-menerus berkokok saling sahut satu sama lain.

Ibuku seperti hari yang lain sesudah Shalat Subuh menceburkan dirinya dengan kesibukan: menanak nasi, mencuci, dan menyapu halaman depan rumah. Setelah semuanya selesai, jam enam pagi barulah aku dan ibu berangkat beriringan. Aku berangkat ke sekolah, sedangkan ibu berangkat kerja.

Pagi-pagi sekali ibu harus menjual peluh di keningnya karena berjalan kaki puluhan kilometer. Hal itu dilakukannya supaya sebelum jam dua belas siang sudah sampai di rumah. Tentu setelah menyusuri jalan becek di pasar, di selokan, di pekarangan rumah orang, di tepi jalan raya atau di manapun ada botol bekas dan sampah plastik berserakan di situ jejak kakinya tertinggal.

Seperti itulah kebiasaan ibu di pagi buta di saat makhluk bernama manusia masih menguap di atas kasurnya yang empuk, ibu sudah kedabag-kedebug. "Rendra kamu sudah shalat?" tanyanya padaku sambil mengeluarkan ayam dari kandangnya.

"Sudah, Bu," jawabku pendek.

"Kalau begitu beri makan ayam. Ibu mau mencuci. Itu sarapanmu di atas meja."

Dengan malas aku menuruti perintahnya. Sebab, harta paling berharga dari rumah yang sudah reot ini hanyalah ayam yang tinggal beberapa ekor saja.

Pukul setengah enam pagi aku masih menguap. Sarung dan jaket kumuh masih membungkus tulangku yang ngilu ditusuk hawa dingin. Hujan turun dengan lebatnya semalam yang membuat aku dan ibuku gagal memejamkan mata barang semenit pun. Maklum banyak genteng berlubang, barangkali sudah tidak kuat dihantam panas, angin, dan guyuran hujan karena sudah berumur.

Di depan tungku api aku menatap sepatu boots. Andai pagi terlambat datang, langit masih berwarna hitam dan rembulan masih bergelantungan, mungkin aku tak semurung ini.

"Kenapa Nak, kok sedih begitu," tanya ibuku setelah menghampiriku.

Sambil menahan tangis yang sudah di ujung mata kujawab, "Aku malu diolok-olok teman karena memakai sepatu boots."

Mendengar jawabanku ibu mematung. Sebelum beranjak barulah ibu berujar, "Ibu janji ini terakhir kamu pakai sepatu boots. Nanti siang ibu ke pasar buat jual ayam. Sekarang sana mandi, sarapan dan berangkat sekolah. Sebentar lagi kamu ujian. Kamu harus tetap semangat. Yang kita punya hanyalah kesabaran Nak."

Begitulah ibuku. Semangatnya tak pernah padam walau derita tak bosan mengepung hidupnya. Bagaimana tidak, ibuku bahkan tidak lulus Sekolah Rakyat, berhenti sekolah saat kelas lima. Artinya ibuku tidak punya pengalaman eksistensial dalam pendidikan. Dan setelah menikah saat aku baru berusia delapan bulan April, ibu sudah ditinggal suaminya untuk selamanya karena kecelakaan kerja.

Sejak saat itu ibu membanting tulang untuk membesarkanku, menyekolahkanku, dan berupaya mewujudkan cita-citaku untuk kuliah di Jakarta. Kendati kanan-kiri tetangganya mengolok-oloknya. Tentu lebih banyak mencaci daripada menolongnya. Semua itu di terima ibu hanya dengan mengelus dada.

Memang aku tidak bisa mengolok-olok balik tetangga, karena benar adanya keadaan kami. Bahkan, untuk membeli sepatuku ibu harus menjual harta yang paling berharga.

Pekerjaannya yang hina-dina penghasilannya tidak seberapa, hanya cukup untuk makan. Padahal, sudah dua tahun aku mencoba meringankan beban ibu, tentu setelah memotong urat malu terlebih dahulu. Tapi tetap saja begini, nasib baik tidak beranjak: jalan di tempat. Kalaupun ada sisa ibu menyuruhku untuk menabungnya.

Katanya banyak kebutuhan tak terduga, seperti peralatan sekolah misalnya. Walau aku harus bersyukur presiden sudah menggratiskan biaya sekolah. Akan tetapi, perlengkapan sekolah tidak ada yang gratis. Buku dan pensil pun harus beli. Hal semacam itu yang luput dari kacamata presiden.

Ibu tak peduli keringat yang menetes dari keningnya, bertahun-tahun ibu memperjual-belikan rasa lelahnya. Sebab, baginya aku harus pandai, bukan hanya menulis dan membaca namanya sendiri. Kalau bisa pandai membaca dan menulis sastra, filsafat, dan bahasa Inggris.

Ibu tidak ingin aku menderita karena tak punya bekal di masa depan. Ibu tak sampai hati membekaliku dengan alat perkakas. Bahkan, ibu tak rela pekerjaan suaminya dulu sebagai buruh kuli bangunan harus diwariskan padaku. Tentu semua itu dilakukan karena ibu ingin kebahagiaan dan keberhasilan menyertaiku. Demi itulah ibu bekerja keras, kecuali saat rembulan memberikan mimpinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement