Jumat 26 Apr 2019 15:36 WIB

Sore Sebelum Kenduri

Sial benar ibu Nyak Syukri karena bermenantukan perempuan hampir seumurannya

Sore Sebelum Kenduri
Foto: Rendra Purnama/Republika
Sore Sebelum Kenduri

Ada bergoni daun ubi di depan para perempuan itu, daun ubi yang akan digunakan untuk kenduri, mereka duduk melingkar di bawah pohon belimbing wuluh yang berada di belakang rumah Kak Puteh, Kak Puteh yang akan mengawinkan putranya dengan gadis dari seberang sungai, esok hari. “Kemarau, kemarau telah membuat daun-daun ubi menjadi seperti ini, mengerut dan tidak segar,” Kak Na terus memisahkan daun ubi dengan tangkainya.

“Tolong ambilkan aku sedikit daun ubi itu, biar aku bantu kau pisahkan dengan tangkainya,” Wa Rabumah yang baru saja sampai di tempat itu melepas sandalnya dan uduk tepat di samping Kak Na.

“Masuk saja kau ke dalam, cari pisau, lihat itu yang sudah dipisahkan tangkainya cukup banyak, Cuda Hendon kewalahan memotongnya.”

Wa Rabumah bangkit berdiri, kemudian melangkah ke dalam melalui pintu belakang untuk menanyakan pisau pada yang empu rumah. Kesibukan persiapan kenduri terlihat jelas; sebagian perempuan kampung bergerombol membersihkan ayam, mencabut bulu-bulunya, membelah dadanya, mengambil tembolok dan membuangnya, mereka juga membelah bagian antara kedua kaki ayam, mengeluarkan jeroan dan bahan dalam lainnya dengan sangat cekatan. Sementara di lingkaran yang lain, beberapa perempuan terlihat merajang cabe hijau, bawang merah, dan bawang putih, kesemuanya saling berbicara di antara sesamanya yang menimbulkan suara berisik.

“Dari mana Kak Puteh mendapatkan daun-daun ubi ini, ya?” tanya Cuda Hendon.

“Sepertinya dari kebun Nyak Syukri,” Wa Rabumah yang muncul kembali dengan pisau di tangan, mengambil tempat duduk di tempat yang tadi ditinggalkannya.

“Ah, kau menyebut nama itu, aku jadi ingat lagi, tragis nian nasib anak muda itu, masak harus menikahi janda yang lebih cocok menjadi ibunya,” timpal Kak Na, matanya tetap fokus pada daun-daun ubi yang sedang dipisahkan dengan tangkainya.

“Aku dengar Kak Nun memang mengejar-ngejar Nyak Syukri, orang kampung sering menemukan perempuan itu menunggui Nyak Syukri membersihkan kebun.”

“Sungguh keterlaluan Kak Nun itu, pemuda bau kencur saja diembat.”

“Sudah-sudah, itu memang sudah jodohnya Nyak Syukri,” sela Cuda Hendon.

“Ah, aku kasihan pada ibunya Nyak syukri, ibunya sampai menangis-nangis di halaman rumah biar mereka tak jadi menikah. Sial benar nasib ibunya, bermenantukan perempuan yang hampir seumur dirinya sendiri.” Kak Na mengeluarkan daun-daun ubi dari goni yang lain.

“Ada berapa orang tamu yang diundang oleh Kak Puteh?” tanya Wa Salamah yang terkantuk-kantuk di antara daun-daun ubi. Perempuan itu seperti mengalihkan topik pembicaraan.

“800 orang, sudah termasuk tamu dari pihak pengantin perempuan.”

“Kudengar dia menyediakan 20 kilo kacang untuk bumbu pecal, 10 karung beras, 60 ekor ayam, selain itu juga ada tauco cabe hijau dan kulit ayam, dan juga teri kering teuphep untuk tamu yang tidak doyan makan ayam.”

“60 ekor ayam?”

“Iya. Kenapa, Wa Salamah?”

“Apa cukup? 800 tamu seharusnya ada 100 ekor ayam.”

“Ah, tetua kampung yang bilang saat rapat peujok buet cukup 60 ekor.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement