Selasa 05 Mar 2019 12:48 WIB

Kematian Sarkam

Tidak mungkin Sarkam mampu mereguk kematian indah

Kematian Sarkam
Foto: Rendra Purnama/Republika
Kematian Sarkam

REPUBLIKA.CO.ID, Cerpen Oleh: Sigit Widiantoro

Tak seorang pun menduga Sarkam akan mati seperti itu. Berangkat shalat Jumat di awal waktu, pulang shalat Jumat digotong ramai-ramai karena sudah jadi mayat.

Kata para saksi, Sarkam terpejam sesaat shalat Jumat diakhiri dan terpejam terus sesaat orang-orang pergi. Lelaki itu disangka tertidur, padahal ia sudah tidak bernyawa lagi. Banyak orang percaya kematian Sarkam indah, tapi lebih banyak lagi yang ragu.

Bagi orang-orang, kematian yang indah sangat sulit diraih. Orang yang rajin shalat belum tentu matinya indah. Orang yang alim juga tidak otomatis bakal berpelukan dengan kematian indah. Bahkan orang saleh, yang sudah puluhan kali naik haji, tidak ada jaminan ia bisa mati dengan indah.

Kata Kiai Suleman, kematian yang indah itu rahasia Allah dan hanya untuk orang-orang berpredikat istimewa. Orang yang lisannya bersyahadat di akhir hayat, ia mati dengan indah.

Orang yang meninggal pada hari Jumat, orang yang syahid di medan perang, juga mati indah. Malah ibu-ibu yang meregang nyawa ketika melahirkan, itu juga termasuk kematian yang indah.

Karena itu, banyak orang kaget dengan kabar kematian Sarkam di masjid ketika tengah shalat Jumat. Tidak hanya kaget, orang-orang bahkan seperti tidak percaya dan bingung. Kok bisa Sarkam mati di masjid? Kok bisa Sarkam mati saat shalat? Kok bisa Sarkam mati pada hari Jumat?

Orang-orang bingung sebab bagi mereka, masjid, shalat, dan Jumat adalah tanda kebaikan. Sarkam? Ah, tidak mungkin Sarkam mampu mereguk kematian indah, sedangkan hampir semua orang paham siapa Sarkam sebenarnya.

"Eh, jangan-jangan, Malaikat Maut keliru. Ia mengincar Haji Mangil, tapi yang kena malah Sarkam," kata seseorang di suatu hari.

"Hati-hati kalau ngomong, soal mati tak pantas buat bercanda," tegur yang lain.

"Bagaimana tidak keliru, hampir semua tahu siapa Sarkam. Orang seperti dia kok matinya bagus banget."

"Tapi, tak perlu bawa-bawa malaikat segala."

"Terus, bagaimana kalau begitu? Ya, nggak tahu!"

Orang-orang memang tak mengerti jawaban pasti. Namun, kalau disuruh memilih antara Haji Mangil dan Sarkam, orang-orang paham, siapa yang harus mereka pilih. Tentu, Haji Mangil karena di mata mereka, Haji Mangil adalah orang yang pantas dijemput Malaikat Maut dengan hormat. Dibandingkan Sarkam, Haji Mangil layak mati dengan indah.

Siapa yang tidak tahu Haji Mangil, peternak unggas paling berhasil di kampung. Semua orang mengenalnya. Apalagi, Haji Mangil punya hobi yang menjadikan semua orang tahu dan kenal, ngider. Ya, Haji Mangil memang senang berkeliling buat menyapa orang-orang dan menyelipkan lembaran uang di saku hamba yang tertimpa susah dan musibah.

"Ini buat bayar sekolah si Ragil. Aku dengar kamu perlu. Sisanya, terserah kamu, yang penting manfaatkan," kata Haji Mangil sembari tangannya menyerahkan segepok uang kepada Yu Jingah, janda penjual gorengan keliling yang memang tengah direndam bingung mencari biaya sekolah buat anaknya.

Kepada Turah, lelaki kurus penyakitan beranak lima yang kerepotan menegakkan biduk rumah tangganya, Haji Mangil tidak segan mendatangi dan menemui seraya berucap ramah, Besok, pergilah ke dokter, tak usah kamu pikir biayanya. Kalau badanmu sudah enakan, datanglah ke rumah, ada yang bisa kamu kerjakan nanti.

Sarkam? Sulit bagi orang-orang untuk tidak merendahkannya. Segala sifat buruk manusia seakan-akan melekat dalam dirinya. Sarkam kasar, keras kepala, mau menang sendiri, juga temperamental. Bak nangka dan getah, begitulah Sarkam dan sifat buruknya, sulit dipisahkan.

Bahkan punya mulut sangat khas, yang membuat orang ingin menyumpalnya. Suka nyinyir, ngomong semaunya sendiri. Mulutnya mampu merangsak dan melibas siapa saja dan di mana saja. Mulut itu bak busur panah yang siap meluncurkan bisa anak panah ke dada setiap orang.

"Shalat belum tegak sudah sok-sokan. Masjid harus bagus, lantai mesti licin, ruang harus ber-AC. Memang kalau sudah begitu, shalat kita jadi khusyuk apa?" Begitu ucapan sinis Sarkam menanggapi rencana orang-orang untuk merenovasi masjid hingga membuat mereka panas hatinya.

Sarkam juga menyindir orang-orang yang menentang berdirinya pabrik semen di kampungnya, tapi di saat lain mereka menjadi penerima bantuan terdepan dari pabrik semen itu. Kata Sarkam ketus, menata mulut dan laku supaya menyatu itu sulit. Kalau belum bisa, jaga salah satu agar tidak liar.

Akan tetapi, semua watak dan tabiat Sarkam itu tidak ada apa-apanya dibanding kesukaannya bermaksiat. Mabuk, judi, dan main perempuan adalah hal yang biasa Sarkam lakukan. Malah Sarkam kini punya hobi baru, adu ayam. Hampir setiap waktu, wajah Sarkam terlihat di sela kerumunan orang yang melingkar di halaman rumah Kasan yang luas.

"Orang hidup butuh hiburan. Ingat, adu ayam tak lebih kotor dibanding tinju yang disiarkan televisi," kilah Sarkam bila ada orang yang menyindir hobinya.

Wajar kalau semua orang direndam rasa penasaran. Amalan apa sebenarnya yang membuat Sarkam bisa mati seindah itu? Hingga berbulan-bulan, seisi kampung masih tidak percaya dengan kejadian itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement