Ahad 24 Feb 2019 11:03 WIB

Ayah

Ayahku hangatnya selalu membangunkanku setiap pagi, menghangatkanku kala hujan

Ayah
Foto: Rendra Purnama/Republika
Ayah

REPUBLIKA.CO.ID, Cerpen Oleh: Justto Lasoo

Tangan mungil Ranu menyambut pahaku, begitu aku membuka pintu. Segera saja kuangkat tubuh bocah lelaki lima tahun itu. Tubuh mungilnya segera terbenam dalam dekapanku, suara tawanya pecah saat seluruh tengkuknya kuhabisi dengan ciuman. Ranu adalah anak pertamaku, adiknya masih dalam tahap usaha, aku dan Mayang, istriku, sudah kepingin lagi memiliki anak kedua, tetapi Tuhan belum memercayai kami.

"Ranu, jangan ganggu ayah, ayah capek!" Suara Mayang tak menghentikan tawa Ranu.

Aku segera membopong bocah yang rambutnya seperti rambut jagung itu ke dalam kamar. Selanjutnya, suara Mayang lebih terdengar seperti air kran.

"Tadi Ranu belajar apa di sekolah, Nak?" Tahun ini adalah tahun pertama Ranu kumasukkan sekolah TK, baru sebulan, tetapi sudah tidak mau ditunggui oleh ibunya. Sebenarnya, sejak setahun yang lalu, Ranu sudah merengek minta sekolah, apalagi jika melihat anak-anak tetangga berangkat sekolah setiap pagi, pasti ia akan merajuk untuk ikut. Namun, aku dan Mayang bersepakat untuk belum dulu mengirim Ranu ke sekolah.

"Tadi Ranu disuruh cerita tentang ayah. Semua teman Ranu juga."

Kududukkan Ranu di dadaku, aku tidur telentang di atas kasur dengan seprai bermotif kucing, yang baru tadi pagi dipasang oleh Mayang.

"Oya? Terus Ranu cerita apa, sayang?" bukannya menjawab, Ranu malah asyik memainkan daguku yang yang kasar karena tadi pagi tidak sempat bercukur.

"Nak, Sayang, tadi Ranu cerita apa tentang ayah?"

"Ranu cerita, ayah suka ajak Ranu jalan-jalan, sama Bunda juga. Ayah kalau malam tidak mau gosok gigi, kalau pagi suka ajak Ranu pergi buru-buru ke sekolah. Terus... Ranu juga cerita kalau ayah Ranu itu paling hebaattttt!" Mata Ranu berkedip-kedip, rasanya aku melihat ribuan bintang di dalamnya.

"Yah, semua teman Ranu juga cerita ayah-ayahnya, kata Si Raffa, ayahnya suka kentut..." Aku tergelak mendengar cerita Ranu. Mayang berteriak-teriak dari dapur.

"Eh, Yah, kan semua teman Ranu punya ayah, terus Ayah punya tidak?" tanya Ranu sambil mencium ujung hidungku.

"Ayah? Aku?"

Tiba-tiba saja aku melenting entah ke alam apa. Yang ada hanya kesunyian. Bukan, ini bukan alam kesunyian, melainkan alam kenangan. Pertanyaan Ranu, membuat kenanganku kembali hidup, kenangan masa kecil, kenangan masa aku berkelana untuk menemukan seseorang. Ayah.

Aku ingat, masa itu, aku juga pernah menjadi Ranu hari ini. Berdiri di depan kelas dan disuruh bercerita mengenai sosok ayah. Kala itu, teman-temanku dengan riang gembira menceritakan ayah mereka. Ayah mereka baik. Ayah mereka selalu membelikan mainan. Ayah mereka selalu menggendong mereka. Ayah mereka selalu mengajari mereka naik sepeda.

Lalu, tiba giliranku, aku hanya berdiri saja. Diam mematung. Tak ada sesuatu pun yang aku ceritakan. Aku binggung. Aku tidak tahu apa yang harus aku ceritakan.

Teman-teman cekikikan melihatku mematung. Bu Harsi, berkali-kali mengerakkan tangannnya, kode agar aku segera bercerita. Namun, hingga bermenit-menit lamanya, aku tetap tidak bersuara.

Akhirnya Bu Hesti, guru kelasku, kalah. Beliau menyuruhku untuk kembali duduk tanpa bercerita.

Sesampainya di rumah, seperti halnya Ranu, aku juga bercerita tentang yang terjadi di dalam kelas hari itu, pada ibu. Tapi bukan ceritaku yang kusampaikan kepada ibu, melainkan cerita teman-temanku. Waktu itu aku melihat berkali-kali Ibu mengusap mata dan hidungnya. Di akhir ceritaku, aku bertanya, Ibu, apakah aku punya ayah?, lalu ibu segera memelukku.

Berhari-hari setelahnya, aku terus bertanya pada ibu, apakah aku punya ayah. Tapi, ibu tak pernah menjawabnya. Saat itu aku memang tak pernah melihat atau bertemu dengan seseorang yang bisa aku panggil ayah.

Setahuku, aku hanya punya kakek, nenek, Pakde Bowo, Bude dan Mas Anung. Iya, hanya itu, tidak ada ayah di antara mereka.

Ibu baru memberitahu aku, tentang ayah, saat aku naik ke kelas dua SD. Sore itu, di musim hujan, dengan sepiring singkong goreng dan segelas besar teh manis, aku duduk berdua -dan memang seperti itu selalunya, hanya kami berdua dengan ibu di teras rumah. Sesekali tempias hujan mengenai mukaku.

"Nur, ayah sekarang sudah tidak ada bersama kita. Ayah sekarang ada di satu tempat yang jauh. Kita tidak bisa menemuinya sekarang. Saat ini ayah berada di satu tempat yang indah sekali, Nak, penuh dengan bunga-bunga." Suara ibu ditimpali hujan yang jatuh di daun-daun jambu air. Pohon jambu yang nantinya akan menjadi tempatku menghabiskan waktu.

"Kenapa kita tidak menyusul ayah, Bu? Janur ingin punya ayah, seperti teman-teman." Aku sama sekali tidak melirik singkong goreng yang masih panas, pandanganku menembus rintik-rintik air yang semakin lama semakin pekat.

"Tidak bisa, Nak, nanti, kalau Nur sudah besar akan tahu di mana rumah ayah sekarang. Kalau Nur ingin main sama ayah, di situ," telunjuk ibu mengarah ke rindang pohon jambu air. "Ayah Nur akan sering datang ke situ, menemui Nur."

Setelah sore yang hujan itu, aku tak lagi pernah bertanya pada ibu mengenai ayah. Bahkan, ketika aku hanya bermain dengan ulat bulu dan semut merah di bawah pohon jambu, karena ayah tidak pernah benar-benar datang dan menemuiku di tempat itu.

Walaupun tidak seperti yang ibu katakan saat sore gerimis hari itu-tentang ayah yang akan datang ke bawah pohon jambu air, aku selalu bermain di tempat itu, setiap hari, setiap sore sepulang dari sekolah, ajakan bermain dari teman-teman sudah tidak menarik lagi bagiku.

Bahkan, aku menangis meraung-raung ketika ada tiga orang petugas PLN memangkas sebagian pucuk pohon jambu di depan rumah. Memang, pohon jambu kami sudah terlalu tinggi, sehingga pucuk-pucuknya mengenai kabel yang tepat membentang di atasnya.

Seterusnya, aku selalu mencari sosok ayah dengan diam-diam selain di bawah pohon jambu. Di jendela ruang guru, di pasar sayur ketika diajak ibu belanja pada Ahad, di rumah Pak RT saat ikut ibu pengajian, di jalan depan rumah saat bapak-bapak kompleks tengah kerja bakti membersihkan selokan. Hasilnya nihil, tak pernah kutemukan ayah di tempat-tempat itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement