Rabu 12 Jun 2019 05:33 WIB

Lebaran di Perantauan (Cerita Pendek)

Merayakan Lebaran di negeri orang, bahagia, rindu, sedih campur jadi satu

Lebaran di Perantauan (Ilustrasi cerpen)
Foto: Rendra Purnama/Republika
Lebaran di Perantauan (Ilustrasi cerpen)

Ini adalah kali ketiga aku merayakan Lebaran di negeri orang. Bahagia, rindu, sedih, bercampur menjadi satu. Tak ada suara takbir, tak ada ketupat, apalagi jajanan di dalam toples. Yang ada hanya nelangsa menjelma di dalam atma saat rindu mulai berkuasa karena sudah tiga kali Lebaran aku tidak bisa berkumpul dengan Emak, serta kedua adikku. Tak ubahnya seperti hari-hari biasanya, aku tetap bergelut dengan rutinitas yang telah menanti.

“Nenek, yuk berangkat ke taman, mumpung matahari belum terlalu panas,” ajakku pada nenek yang kurawat.

“Aku tidak mau!” Jawabnya seraya menarik kembali selimut agar tubuhnya yang telah keriput  tidak terendus sinar matahari.

Begitulah nenek, manjanya luar biasa. Terkadang tingkahnya seperti balita, ingin dirayu acapkali mengurusnya. Anak-anak, serta semua cucunya selalu sibuk dengan urusan masing-masing. Itulah yang membuat ia kesepian. Hari-hari tuanya hanya dihabiskan denganku, yang bertugas sebagai perawat, sekaligus teman dalam bercanda.

***

Pascameninggalnya Bapak, Emaklah yang mengambil alih tugas mencari nafkah untuk keluarga kami. Hidup di bawah garis kemiskinan membuatku harus prihatin.

Sejak kecil menu ikan asin dan rebusan daun ubi adalah santapan keseharian keluarga kami. Paling-paling menu istimewa saat bapak mendapatkan upah buruh, yaitu masakan tempe semangit (1) yang dikukus terlebih dahulu, lalu ditumbuk tidak terlalu halus dengan cabai dan bumbu lainnya, kemudian dicampur dengan santan kelapa. Kami menyebutnya sambal tumpeng, akan terasa lebih nikmat dengan ditemani rebusan daun ubi atau daun pepaya yang masih muda. Itulah adalah masakan terlezat emak yang sangat aku gemari. Sering kali kami berebut karena takut tidak kebagian.

“Mak, kapan sih kita bisa beli soto di warungnya Mbok Ilham itu? Kata tetangga sotonya enak sekali, apalagi gorengannya,” ujar Tatik, adikku yang paling bungsu.

“Sabar ya, Nduk. Upah tandur (2) emak dari Pak Haji Hasim belum dikasih karena padinya banyak dimakan wereng,” jelas Emak dengan lembut.

Adikku hanya bisa mengangguk, saat itu umurnya masih lima tahun sehingga belum tahu apa itu kesulitan biaya untuk hidup. Sedangkan, aku masih berumur 13 tahun, tapi postur tubuhku yang tinggi mirip Emak, membuatku terlihat lebih dewasa. Nasi yang tengah kukunyah, seolah enggan untuk ditelan.

Kelu karena gadis cilik yang seusiaku bisa berangkat bersama teman-teman sebaya ke sekolah, tidak pernah kurasakan. Aku kerap membantu Emak ke ladang untuk berburu ngasag (3) jagung, dan memanen padi di rumah para tetangga.

Tak jarang teman-teman pun meledekku seperti laki-laki. Karena perawakanku yang tinggi, kulit gelap karena sering kepanasan, serta potongan rambut cepak tomboy karena tidak perlu menggunakan sampo jika keramas. Sehingga, mengirit biaya.

“Lihat tuh si Nana! Cewek kerjaannya di sawah, pantas saja kulitnya legam dan kusam. Apalagi, kalau salamannya dengan dia, tangannya kasar seperti gergaji,” cibir mereka acap kali berpapasan denganku.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement