Kamis 11 Jul 2019 07:11 WIB

Deretan Kiai-Politikus di Kursi Cawapres

Maruf Amin bukan kiai yang pertama yang maju sebagai cawapres

Rep: NURUL S HAMAMI / Red: Karta Raharja Ucu
Dari kiri ke kanan searah jarum jam: Kiai Ma'ruf Amin, Amien Rais, Gus Solah, (Alm) KH Hasyim Muzadi
Foto:
KH Maruf Amin

Ulama-politikus

Masyarakat luas mungkin lebih banyak mengenal Kia Ma'ruf sebagai seorang ulama ketimbang seorang politikus. Namun, sejatinya kedua peran tersebut melekat pada tu buh lelaki kelahiran Tangerang 11 Maret 1943 ini.

Sejak muda, bahkan remaja, Kiai Ma'ruf memang sudah aktif di sejumlah or ganisasi keagamaan khususnya yang berada di bawah naungan NU. Tercatat dia pernah menjadi Ketua Pemuda Ansor DKI Jakarta (1964), Ketua NU Jakarta (1966), hingga akhirnya menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat sejak 2015 sebelum akhir nya dipilih sebagai cawapres oleh Jokowi.

photo
Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joko Widodo (kiri) da KH Ma'ruf Amin (kanan).

Selain Ketua MUI, pada saat yang sama Kiai Ma'ruf juga mengemban tugas di PBNU sebagai Rais Aam serta Ketua Dewan Sya riah Nasional MUI. Dengan latar belakang pendidikan pesantren sedari kecil, Kiai Ma'ruf sudah menjadi pendakwah sejak 1964.

Kian Ma'ruf dikenal sebagai se orang ahli fikih. Seperti dikutip laman www.pknu.org (18 Februari 2007), meski tidak pernah mengenyam pendidikan master/magister (S2) apalagi doktor (S3) di bidang fikih, ilmu Kiai Ma'ruf dapat dibilang melebihi mereka yang bergelar doktor. Ada yang menyebutnya seorang superstar fikih.

Kiai Ma'ruf lahir dari keluarga yang sangat religius. Kakeknya, Syaikh Nawawi Al Bantani, dikenal sebagai ulama besar Indonesia pertama yang dipercaya menjadi imam di Masjidil Haram, Makkah.

Sejak kecil Kiai Ma'ruf sudah ditempa dengan pendidikan pesantren. Ia mengaji pada banyak kiai dan berkelana ke berbagai pondok pesantren, di antaranya Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, dan Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang.

Di bidang politik praktis, Kiai Ma'ruf pada masa awal Orde Baru adalah kader PPP sebagai partai baru hasil fusi (penggabungan) partai-partai Islam termasuk di dalamnya Partai NU. Selama di PPP dia pernah menjadi anggota DPRD DKI (1971-1973, 1977-1982) dan anggota DPR RI masa bakti 1973-1977.

Di kala reformasi politik yang menumbangkan rezim Orde Baru pada 1998, Kiai Ma'ruf ikut membidani kelahiran Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan menjadi ketua dewan syuro (1998), serta mustasyar (2002-2007). Dia terpilih sebagai anggota DPR dari PKB untuk jabatan 1999-2004.

Namun, dalam perjalanannya Kiai Ma'ruf memilih keluar dari PKB. Keputusan ini tak lepas dari perselisihan internal PKB antara Gus Dur di satu pihak dengan sejumlah ulama di pihak lain. Dia pun menjadi motor lahirnya partai baru bagi kalangan Nahdliyin yakni Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Menurut Kiai Ma'ruf, sebagaimana dikutip laman resmi PKNU (www.pknu.org), PKNU bukanlah sempalan PKB.

Para kiai NU mendirikan PKNU dengan mengusung fikrah nahdliyah yang moderat, toleran, reformatif, dinamis, dan bermetode. Menurut dia, kontribusi kiai sebenarnya juga sangat besar dalam membesarkan PKB.

Bersama sejumlah kiai khos yang diakui integritas keilmuannya, Kiai Ma'ruf berse pakat dalam akad pendirian PKNU pada per te muan Tim Tujuh Belas di Pondok Pesantren Langitan, Widang, Tuban, Jawa Timur, pada 21 November 2006. Para kiai sepuh kemudian memberikan amanah kepada Kiai Ma'ruf jabatan Rois (ketua) Dewan Mus tasyar DPP PKNU.

Dewan Mustasyar bukan termasuk pengurus harian karena tidak operasional. Dewan ini hanya mengarahkan dan meluruskan jika terjadi penyimpangan kebijakan partai agar jangan sampai bertabrakan dengan nilai-nilai agama.

Kelahiran PKNU didorong oleh keinginan para kiai, termasuk Kiai Ma'ruf, untuk memperbaiki keadaan bangsa dan negara yang mengalami keterpurukan berkepanjangan di semua sektor kehidupan. PKNU menghendaki terciptanya tatanan sosial dan politik di Indonesia selaras dengan visi keagamaan ahlus sunnah wal jamaah sehingga tercapai harmonisasi serta menghindari benturan antara agama dan negara. Untuk itulah para kiai bersepakat mendiri kan PKNU sebagai wadah politik untuk memperjuangkan warga Nahdliyin.

Namun, tak satu pun kiai pendiri PKNU yang menyebut pendirian negara berdasar kan hukum-hukum Islam atau menjadikan Indonesia sebagai negara Islam melalui perjuangan di PKNU. Bagi mereka NKRI tidak dapat diganggu gugat lagi.

KH Abdullah Faqih yang sempat penulis wawancarai menegaskan (2007), para kiai tidak ingin mendirikan negara Islam melalui berdirinya partai PKNU ini. Kiai tetap akan mengamankan Pancasila dan NKRI yang sudah final. Tidak ada pikiran untuk selanjutnya membikin negara Islam melalui partai ini Sebagai seorang ulama yang lama terlibat dalam politik praktis, Kiai Ma'ruf dalam sebuah wawancara dengan penulis mengatakan (2007), kiai dan politik tak dapat dipisahkan.

Dia mengibaratkan keduanya bagaikan ikan dengan air. Kiai dikatakannya, tidak bisa untuk tidak berpolitik karena memiliki tanggung jawab keagamaan, tanggung jawab keumatan, dan tanggung jawab kebangsaan.

Kiai Ma'ruf memaparkan, ketiga tanggung jawab kiai tersebut bagi kepentingan umat tidak lain merupakan perjuangan mengusung fikrah nahdliyyah sebagai cerminan harokatul ulama fi ishlahil ummah wa ad daulah. Sedangkan, partai politik digunakan sebagai wadah gerakan kiai dalam rangka melakukan perbaikan umat dan negara.

Tanggung jawab kebangsaan, menurut Kiai Ma'ruf, artinya memiliki komitmen kebangsaan yang sudah menjadi tanggung jawab ulama, yaitu menjaga 4 pilar kebangsaan: (1) Pancasila, (2) UUD 1945, (3) NKRI, (4) bhinneka tunggal ika, yang sudah menjadi komitmen bangsa. Para ulama NU berpandangan, itu semua sudah final, maka harus menjadi komitmen para kiai.

Sedangkan, tanggung jawab keagamaan atau keislaman menurut faham ahlus sun nah wal jamaah, kata Kiai Ma'ruf, yakni: pertama, kiai dan umat berusaha mengembangkan faham ini menjadi faham seluruh bangsa. Ciri-ciri keislaman yang dikembangkan itu adalah Islam yang moderat dan toleran. Bukan Islam yang fundamental, juga bukan sekular dan liberal. Cara berpikir yang dikembangkan adalah dinamis tapi bermanfaat.

Kedua, memperjuangkan Islam sebagai acuan, sumber inspirasi, kaidah penuntun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa harus berbenturan dengan pilar-pilar kebangsaan. Ini dapat diartikan bagaimana membawa Islam supaya menjadi acuan, panutan, tapi tak harus berbenturan. Ketiga, menyiapkan orang-orang yang nanti mengerti agama yang melanjutkan perjuangan. Ini disiapkan melalui pesantren-pesantren.

photo
Wakil Presiden terpilih Ma'ruf Amin.

Tanggung jawab keumatan yakni memperbaiki umat dan menjaga umat. Memper baiki umat, agamanya, kemasyarakatannya, ekonomi dan sosialnya supaya terpenuhi kebutuhannya. Tuntutan-tuntutan umat terpenuhi: tuntutan primer atau pokok yakni sandang, pangan, papan. Kebutuhan minimal ini harus terpenuhi. Kemudian kebutuhan yang sekunder untuk perluasan, dan kebutuhan yang aksesori yakni penyempurnaan. Ini semua, menurut Kiai Ma'ruf, merupakan tanggung jawab kiai.

Sementara, kata Kiai Ma'ruf, menjaga umat yakni menjaga dari akidah-akidah yang rusak, dari akhlak-akhlak yang buruk, dari cara berpikir yang bathil, menyimpang, dan distorsi. Distorsi dari radikalisme, penafsiran-penafsiran yang liberal, sehingga Islam tidak sesuai kaidah-kaidah kiai. Juga distorsi-distorsi tanpa batas seperti kebebasan tanpa batas. Dalam pengamatan Kiai Ma'ruf, UU tentang pendidikan agama, sensor film, akan dihabisi oleh orang-orang liberal. "Mereka coba buat negara ini menjadi sekuler. Kita punya komitmen kebangsaan tapi juga menjauhi sekularisasi bangsa.''

Kiai Ma'ruf menegaskan: "Karena itulah para ulama memerlukan partai. Partai itu pen ting, sebab bagaimana kita bisa mempertahankan keadaan, bagaimana kita bisa menjaga negara, menjaga umat, kalau kita tidak punya kekuatan politik. Tapi politik kita itu politik agama, bukan politisasi agama yakni agama dijadikan sebagai alat politik, agama hanya dijadikan sebagai alat pengumpul suara tapi bukan untuk memperjuangkan agama itu sendiri."

Namun, dalam perjalanannya, PKNU ternyata tak mampu lolos ambang batas parlemen nasional (DPR RI) pada Pemilu 2009. Selanjutnya partai besutan para kiai khos NU ini hilang dari peredaran dan absen di Pemilu 2014 dan 2019. Tapi, tidak demikian halnya dengan Kiai Ma'ruf. Dia tetap eksis dan jelang Pemilu 2014 tampak kembali mesra dengan PKB, diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (2007-2010, 2010-2014), menjadi ketua MUI di 2015, dan Rais Aam PBNU (2015). Pada akhirnya Kiai Ma'ruf menjadi wakil presiden terpilih mendampingi Jokowi untuk lima tahun ke depan, mulai 20 Oktober 2019 nanti.

PROGRAM PEMBANGUNAN JOKOWI-MA'RUF AMIN (NAWACITA II)

"Meneruskan Jalan Perubahan untuk Indonesia Maju: Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong"

VISI

* Terwujudnya Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian, berlandaskan gotong-royong.

* MISI

1. Peningkatan kualitas manusia Indonesia.

2. Struktur ekonomi yang produktif, mandiri, dan berdaya saing.

3. Pembangunan yang merata dan berkeadilan.

4. Mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan.

5. Kemajuan budaya yang mencerminkan kepribadian bangsa.

6. Penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.

7. Perlindungan bagi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga.

8. Pengelolaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan terpercaya.

9. Sinergi pemerintah daerah dalam kerangka Negara Kesatuan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement