Jumat 05 Jul 2019 05:07 WIB

Ketupat dan Rendang Daging (Cerita Pendek)

Tepat di ruang tamu, aku sudah melihat ketupat bersebelahan dengan semur

Ketupat dan Rendang Daging (Ilustrasi)
Foto: Rendra Purnama/Republika
Ketupat dan Rendang Daging (Ilustrasi)

Sudah tergeletak di meja ruang keluarga sebak kecil ketupat. Aku sudah membayangkan memakannya. Kupat yang bentuknya tidak besar, tapi tampak menggoda. Pastinya nikmat dan legit.

Di sebelahnya satu baskom semur daging yang dipotong-potong tipis lebar serupa irisan-irisan bawang bombai. Semur pun begitu kental sedikit kuah, tapi tidak berlinangan. Macam itu yang kuinginkan.

Aku memang tidak suka yang berlebihan kadar kolesterol. Bagiku bisa memberi rasa nikmat. Tapi, aku sebenarnya tak menginginkan menu senikmat itu yang justru kesulitanku meninggalkannya.

Aku akan menginginkan menu itu setiap hari. Tapi, bagaimana di Lebaran ini, tentu aku harus membutuhkan berhari-hari. Padahal, Lebaran hanya satu atau dua hari, selanjutnya menu semacam itu sudah jarang. Bahkan, kemungkinan habis. Dan, terpaksa akan mengekang keinginan menikmati kupat yang diguyur kuah semur.

Aku tak menghiraukan rantang di sebelah bak dan baskom yang kuduga di dalamnya juga menu Lebaran. Entah apa. Tapi, meski semewah dan senikmat apa pun isi rantang itu tak menarik bagiku. Karena aku tidak berkeinginan sama sekali.

Lalu aku menoleh ke segala arah begitu kuketahui hanya sedikit menu menyambut Lebaran. Hanya yang tersedia di meja yang merapat ke dinding. Dan, aku tidak memastikan apakah menu-menu lainnya tersimpan juga di lemari.

Yang pasti kuketahui suasana Lebaran tak berbeda dengan hari-hari lain. Mungkin hanya kupat dan semur itu saja yang masih tampak di penglihatanku.

Aku masih berdiri di depan pintu ruang tamu yang tanpa daun, tak bergerak, menghadap ke ruang keluarga. Khawatir akan mendapatkan sesuatu yang tak perlu kuketahui meski rumah adikku sendiri. Maka, aku tak melangkah.

Kenapa berhenti, Bu?” tegur Firda, gadis kecilku yang juga berdiri merapat ke dinding ruang tamu di sela antara karpet yang terhampar.

Aku merasakan dengus napasnya yang tertahan-tahan seakan mengatur agar aku tak mendengar, yang padahal tak akan kuusik meski dengusan nyaring menyikapiku yang berdiri dalam kecurigaan mendapati suasana rumah. Ia terkesima dengan sikapku. Lalu aku menoleh ke belakang. “Tidak kau tutup pintu, Firda?”

“Sejak kita masuk memang tidak tertutup, Bu.”

Tadi ketika baru sampai di peluaran, aku segera masuk, tetapi rumah sepi. Tepat di ruang tamu, aku sudah melihat ketupat bersebelahan dengan semur yang membuatku lupa kondisi rumah sebelumnya. Makanya, aku coba menegur. Dan, ingatanku kembali setelah mendengar jawaban Firda. Aku membenarkan pintu memang tak tertutup.

Mungkin, Dewi sibuk di dalam, dugaku begitu ia tak juga terlihat. Hanya kupat dan semur di atas meja. Menu kesukaanku. Aku baru mengingatnya setelah berkali Firda, anak yang baru delapan tahun itu memintaku menemaninya ke rumah bibinya. Namun, sibuk dengan penataan macam menu dari kunjungan adik-adik iparku dan beberapa adik di pengajian, aku tidak menghiraukannya. Begitu ia kembali meminta, aku berkata, “Nanti juga bibimu ke sini, Firda.”

“Sudah sore begini, Bu,” sahutnya segera seolah tak memastikan bibinya ke rumah hari itu.

Aku berhenti menata menu. Menoleh, “Sebentar lagi, Firda.” Aku memastikannya akan datang meski mendekati sore, bahkan malam.

“Sampai kapan, Bu?” desak Firda. Aku menduga, mungkin, merasa jenuh permintaannya sejak selesai shalat Id belum juga kupenuhi. Tapi, aku tak menghiraukannya. Lalu, aku kembali meletakkan menu-menu ke dalam lemari. Selintas aku melihat ayahnya masuk. Entah habis dari mana.

“Aku bersama ayah ke Telar ya, Bu?” Firda menyebut kampung bibinya tinggal. Ia bahagia menduga ayahnya akan menuruti keinginannya. Aku memasang pendengaran. Masih suntuk dengan menu-menu.

“Kamu mendengarnya, Resti?” Andre, suamiku memandangi. “Jangan diam saja, katakan kepadanya,” sarannya datar dengan tegas.

“Dewi akan ke sini, Bang.” Aku lebih tegas.

“Entah kapan.” Ia pun meragukan.

“Ditunggu saja.”

“Tapi, Firda meminta menemaninya,” tukasnya. Ia mendekati Firda yang sayu memandangiku. “Tidak berdosa kita lebih dahulu ke rumahnya kan?”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement