Senin 01 Jul 2019 14:17 WIB

Sistem Zonasi, Perlukah?

Sistem zonasi mendorong anak dengan berbagai kemampuan untuk berkumpul di satu sekola

Siswa mengikuti uji kompetensi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jalur prestasi di SMAN 1 Depok, Kota Depok, Jawa Barat, Selasa (25/6).
Foto: Republika/Prayogi
Siswa mengikuti uji kompetensi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jalur prestasi di SMAN 1 Depok, Kota Depok, Jawa Barat, Selasa (25/6).

Saya ingin memulai tulisan ini dengan menyajikan sebuah anekdot pembicaraan Bapak-Anak yang banyak beredar di media social saat ini:

Bapak : “Nak, belajar yang rajin, sekolah yang pinter, biar bisa bantu Bapak, biar bisa masuk ke sekolah  Negeri favorit.”

Baca Juga

Anak: “Lho, Pak, jaman sudah berubah..Bapak saja yang kerja yang rajin, biar bisa beli rumah yang dekat dengan sekolah Negeri favorit.”

Membaca anekdot di atas membuat kita mungkin tersenyum-senyum sendiri. Namun jika dipikir lebih mendalam, inilah fenomena yang terjadi dalam system pendidikan di negara kita.

Sejak tahun 2017/2018, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendorong penerapan kebijakan zonasi sebagai solusi permasalahan pendidikan di Indonesia. Sistem zonasi ini membantu memeratakan kesempatan pendidikan serta menghapuskan adanya pembagian sekolah antara sekolah unggulan dan non unggulan.

Harapannya adalah agar kualitas pendidikan merata di semua wilayah, sekolah menjadi sekolah favorit bagi semua orang dan memudahkan pemerintah untuk memantau adanya hambatan dan keberhasilan yang dicapai oleh sekolah, kendala fasilitas dan prasarana yang mendukung, keterampilan guru dan hal-hal lain yang mempengaruhi proses belajar mengajar di sekolah. Namun pada saat harapan ini diterapkan menjadi kenyataan, tidak sesuai dengan bayangan.

Pemberlakuan sistem zonasi ini menimbulkan ‘drama’ bagi orangtua dan anak yang menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan bagi semua pihak. Mulai dari sistem antrian yang membuat orangtua harus datang lebih pagi ke sekolah, adanya pelanggaran dalam kartu keluarga anak, ataupun minimnya sosialisasi dan simpang siurnya aturan yang diterapkan yang membuat orangtua bingung.

Dibalik diberlakukan kebijakan sistem zonasi ini, saya menduga hal tersebut berkaitan dengan hasil PISA Indonesia. Saat ini, ada suatu program yang bernama PISA (Program of International Student Achievement) yang mencoba untuk membuat suatu standar dalam mengevaluasi performa pendidikan di berbagai negara (80 negara di dunia, termasuk Amerika Serikat, Finlandia, Jepang, Swedia, Australia dsb), dan Indonesia adalah salah satunya.

PISA tidak hanya mengukur hasil pendidikan dalam berbagai mata pelajaran per tiga tahun, namun juga melihat faktor non akademis yang penting mendukung keberhasilan siswa, seperti kepuasan hidup, kemampuan analisis, motivasi, harapan dan keyakinan mereka akan menyelesaikan pendidikan.

Banyak negara yang kemudian menggunakan hasil dari PISA ini sebagai dasar untuk pengambilan kebijakan dalam pendidikan di negaranya. Jika dilihat kondisi di Indonesia, posisi Indonesia dalam ranking PISA tahun 2015 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya.

Pada tahun 2015, Ranking Indonesia untuk Sains 62, Matematika 63 dan Membaca 64 dari 70 negara (https://www.oecd.org/pisa/PISA-2015-Indonesia.pdf). Hasil ini menunjukkan bahwa Indonesia masih berjuang untuk meningkatkan kualitas pendidikannya. Namun peningkatan yang dicapai Indonesia termasuk peningkatan tercepat ke-5 di antara semua negara peserta PISA. Jika Indonesia dapat mempertahankan peningkatan yang terjadi saat ini, diprediksikan pada tahun 2030, setiap siswa Indonesia sudah dapat menikmati kualitas pendidikan di Indonesia yang setara secara internasional.  Sungguh gambaran ideal pendidikan seperti yang bangsa Indonesia inginkan.

Sistem zonasi ini juga berpengaruh pada paradigma tentang sekolah favorit/sekolah unggulan dan non unggulan sudah terlanjur melekat di benak sebagian besar orangtua di Indonesia. Tidak mudah untuk menghilangkan paradigma ini hanya melalui penetapan kebijakan  dengan minimnya sosialisasi. Jika dipahami secara mendalam, sebenarnya, sistem zonasi ini memiliki beberapa keuntungan dan kerugian di berbagai sisi. 

Yang pertama, sistem zonasi yang menekankan penerimaan siswa baru lebih berdasarkan daerah tempat tinggal siswa, dan tidak lagi berdasarkan prestasi siswa. Tujuan pemerintah adalah agar siswa yang pandai tidak berkumpul di satu sekolah saja.

Dengan menjadikan tempat tinggal sebagai dasar pemilihan sekolah, kemungkinan siswa dengan berbagai kemampuan berkumpul di dalam satu sekolah menjadi lebih besar. Melalui cara ini, mungkin banyak keuntungan yang diperoleh, misalnya pemerataan prestasi siswa di sekolah, kesempatan untuk berkolaborasi antar siswa dengan berbagai kelebihan, gaya belajar dsb, ekonomis dan siswa tidak mudah lelah (karena jarak dan biaya yang dihabiskan siswa tidak banyak).

Pada daerah yang memiliki tingkat populasi yang tidak banyak dan dengan akses transportasi yang terbatas atau bermasalah, hal ini tentunya akan menguntungkan karena jarak sekolah cukup dekat dan terjangkau dari rumah. Namun, pada daerah yang memiliki latar belakang sosial ekonomi yang kurang lebih sama membuat sekolah terdiri dari siswa yang juga homogen.

Dengan demikian, secara sosial, siswa menghadapi teman-teman yang serupa dan ia tidak belajar untuk bertemu dengan orang yang berasal dari status sosial ekonomi yang berbeda. Sistem zonasi juga memberikan kesempatan pada siswa untuk merasakan fasilitas pendidikan dari pemerintah tanpa ada perbedaan, seperti infrastrukstur yang memadai, sistem dan aturan serta kualitas guru yang sepadan.

Bagi siswa dari latar belakang sosial ekonomi yang rendah, dan masuk di sekolah dengan fasilitas pendidikan yang lengkap akan menguntungkan proses belajarnya. Adanya sarana dan prasarana ini secara tidak langsung akan mendukung siswa untuk memiliki perasaan memiliki sekolah dan termotivasi menjalani pendidikannya.

Namun, jika fasilitas pendidikan ini belum dapat disediakan pemerintah secara setara, sistem zonasi yang dilakukan akan sia-sia. Sekolah-sekolah tertentu yang dianggap memiliki fasilitas yang mendukung akan lebih popular dibandingkan sekolah yang fasilitasnya belum memadai.

Saat ini nampaknya sudah ada usaha pemerintah ke arah sana. Keuntungan dan kerugian ini perlu dipertimbangkan baik oleh orangtua maupun pemerintah sebelum mengambil keputusan tentang sekolah anak.

Yang kedua, sistem zonasi membatasi siswa memilih sekolah berdasarkan tempat tinggal yang membuat siswa pandai hanya berkumpul di satu sekolah. Keuntungannya adalah siswa dengan kemampuan yang kurang lebih sama akan memiliki ritme belajar yang kurang lebih sama.

Jika siswa tersebut pandai, biasanya guru juga tidak memiliki kesulitan untuk mengarahkan dan membentuk kebiasaan belajar. Siswa biasanya sudah memiliki kebutuhan untuk memperoleh prestasi yang tinggi sehingga secara natural, prestasi sekolah juga menjadi terangkat.

Namun di sisi lain, persaingan yang ketat membuat siswa harus berusaha keras jika ia ingin menjadi yang terbaik. Jika ia sering mengalami kegagalan di sekolahnya, hal ini dapat membuat siswa merasa memiliki kemampuan yang kurang dibandingkan teman-temannya. Ada istilah di bidang psikologi yang menggambarkan kondisi ini, yaitu “Big-Fish-Little-Pond-Effect”.

Fenomena ini menjelaskan bahwa siswa yang masuk ke sekolah unggulan, yang terdiri dari siswa-siswa yang terseleksi, ternyata memiliki konsep diri yang lebih rendah dibandingkan siswa yang masuk ke sekolah reguler. Hal ini disebabkan karena kecenderungan siswa di sekolah unggulan saling membandingkan kemampuan dan menghasilkan perasaan tidak yakin akan kemampuannya karena teman-teman yang lain dirasakan lebih baik.

Di sisi lain, jika seseorang masuk ke sekolah regular yang terdiri berbagai siswa dengan beragam kemampuan, konsep dirinya akan lebih baik. Hal ini disebabkan karena ia akan membandingkan kemampuan dengan temannya yang memiliki kemampuan yang beragam, sehingga ia dapat memilih apakah akan membandingkan pada orang yang lebih baik atau lebih rendah prestasinya dari dirinya.

Evaluasi mereka tentang diri mereka sendiri bahwa mereka lebih mampu di antara teman-teman kurang mampu memberikan dampak konsep diri positif mereka. Oleh karena itu, di sekolah unggulan, siswa pintar yang dikelilingi oleh siswa pintar lainnya diprediksi akan memperoleh hasil yang berbeda karena dampak konsep diri, yang rendah yang juga mempengaruhi motif untuk mencapai tujuan mereka, maka mungkin membuat mereka tidak dapat mencapai potensi penuh mereka. Dalam jangka panjang, kondisi ini juga dapat mempengaruhi bagaimana mereka akan memasuki lingkungan pendidikan yang baru, seperti universitas. 

Saat ini sistem zonasi diberlakukan. Orangtua diharapkan untuk mengikuti aturan dari pemerintah dalam mendaftarkan sekolah anaknya. Namun jika pandangan masyarakat tentang sekolah unggulan belum berubah, serta fasilitas pendidikan ini belum dapat disediakan pemerintah secara setara, maka sistem zonasi yang dilakukan akan sia-sia. Semoga pemerintah telah melihat kondisi ini dan mencoba untuk selalu memperbaikinya terus menerus. Mari kita lihat di beberapa tahun ke depan, semoga hal ini terwujud.

Pengirim: Wuri Prasetyawati, staf akademik di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Saat ini ia sedang menempuh studi S3 di School of Psychology, University of Queensland Australia.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement