Ahad 30 Jun 2019 05:03 WIB

Haji Manap (Cerita Pendek)

Siapa yang menciptakan angin? Allah, jawab bapak. Makanya kita harus bersyukur.

Haji Manap
Foto:

Di usia Dul Karim yang masih belum matang itu, ia sudah memiliki banyak pengalaman pahit. Ia harus hidup di tengah selidik mata penuh benci para tetangga, juga suara-suara nyinyir yang terus menyebar dan awet sampai saat ini, bahkan sampai ke telinga anak-anak. Sebuah cerita tentang bapaknya, Haji Manap, yang mati dihajar puluhan orang menggunakan potongan kayu, batu dan benda tajam karena dituduh memperkosa Mbak Sri, tetangganya yang ditinggal kerja suaminya ke Malaysia sebagai kuli bangunan.

Suasana malam saat kejadian itu sangat mencekam. Orang-orang kampung berdatangan, seperti hendak menyaksikan sebuah pertunjukan opera kematian. Cahaya senter berlesatan dari tangan puluhan orang. Haji Manap terkepung. Beberapa orang lelaki itu langsung memukul dengan membabi buta.

“Hajar!”

“Jangan beri ampun!”

“Bunuh!”

“Laknat!”

Begitulah orang-orang menghardik sambil menghantam tubuh Haji Manap tanpa ampun, juga tanpa memberi kesempatan padanya membela diri. Setelah tubuh Haji Manap tak bergerak, satu per satu orang mulai meninggalkan jasadnya, juga sekelompok lelaki beringas yang entah dari mana, yang berhasil menghasut warga dan yang paling membabi buta menyiksa Haji Manap. Sementara Mbak Sri lenyap saat kerusuhan pecah.

Padahal, sewaktu Haji Manap masih hidup, petani garam mencapai masa jayanya. Harga garam stabil. Pabrik pem produksi garam juga bisa dikendalikan. Para pengepul juga tak berani memainkan harga. Kabarnya, selain pintar Haji Manap juga memiliki ilmu kanuragan.

Haji Manap juga berjasa membentuk sebuah organisasi di desanya. Ia juga dikenal baik oleh banyak orang. Ia sangat vokal membela masyarakat. Bahkan, ia tak segan-segan mengajak para petani garam demonstrasi di gedung pemerintahan. Bahkan, beberapa bulan sebelum pemilihan kepala desa, ia digadang-gadang maju di pilkades. Masyarakat di desanya yang mayoritas petani garam mendukungnya.

Sial, petaka itu justru terjadi dan segalanya berubah. Waktu itu Dul Karim sudah mondok di sebuah pesantren, yang juga menaungi MTs tempat ia mengenyam pendidikan. Pagi-pagi sekali pengeras suara di menara masjid memanggil Dul Karim karena ada familinya datang. Ia bergegas ke ruang tamu pondok. Marsuk, saudara bapaknya sudah duduk menunggu.

“Tumben, bapak ke mana, Man?” tanya Dul Karim sambil bersalaman.

“Kamu harus tabah, Dul. Keluargamu dapat musibah, bapakmu meninggal,” jawab pamannya sambil merangkul tubuh Dul Karim.

***

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement