Sabtu 29 Jun 2019 06:29 WIB

Banjir yang Dikirim ke Campoan

Mengapa banjir terjadi, mungkin karena makin sedikit resapan air.

Banjir yang Dikirim ke CampoanBanjir yang Dikirim ke Campoan
Foto:

Sejak saat itu kepala desa Campoan itu tak pernah lagi menemui Sapraji. Ia hilang begitu saja. Tak terdengar kabar tentang kepala desa itu. Akan tetapi, Sapraji dibuat kaget saat mendengar kabar bahwa sawahnya sudah ikut digusur tanpa izin darinya. Bulldozer itu menghabisi semua tanaman padi milik Sapraji, tanpa rasa ampun.

Tempurung kepala Sapraji seakan mau meledak. Kepala desa itu sudah benar-benar membuatnya marah. Ia tahu betul watak kepala desa itu. Pastilah kepala desa itu yang mengizinkan, mengatakan pemilik sawah itu sudah mau menjual tanahnya. Ingin sekali Sapraji menemui kepala desa untuk menanyakan kebenaran itu.

Sapraji mengurungkan niat itu. Ia memilih menabahkan diri. Percuma saja Sapraji melawan kepala desa itu. Ia hanya seorang diri. Tak punya kekuasaan. Tak akan menang melawan kepala desa itu, terlebih kepala desa itu adalah perpanjangan tangan pemerintah kabupaten. Tak ada daya orang miskin macam Sapraji melawannya. Laki-laki itu pasrah. Air matanya berurai terus menerus.

“Banjir itu datang, karena kita sendiri yang memintanya.” Sapraji bergumam.

Kejadian sekian tahun lalu itu masih menghuni benaknya yang sempit. Maimunah melihat Sapraji yang sejak tadi melamum. Ia melihat rasa kesal melingkar di wajah suaminya itu. Gigi Sapraji bergemeretak. Tangannya berkali-kali memukul meja. Untung saja, gelas kopi yang tinggal ampasnya tak jatuh ke bawah.

“Kamu ingat kejadian dengan kepala desa?” Istrinya bertanya. Sapraji mengangguk.

“Inilah akibatnya sekarang.”

“Kita berdoa saja, semoga tak akan ada banjir lagi setelah ini.”

“Mustahil.”

Kenapa?”

“Doa saja tak cukup.”

“Lalu?”

Sapraji tak menemukan jawaban. Pening kepalanya. Ia masuk ke dalam, meninggalkan istrinya sendiri dan membiarkan perempuan paruh baya itu menelan pertanyaannya sendiri. Maimunah mengerti kekesalan yang dialami suaminya.

Beberapa menit kemudian, Sapraji keluar rumah. Istrinya melihat Sapraji tergesa-gesa, menyibak air banjir yang tingginya hampir selutut orang dewasa. Maimunah memanggil suaminya dari belakang. Sapraji menoleh. Perempuan berjilbab biru tua itu menghampiri Sapraji.

“Mau ke mana?”

“Rumah kepala desa.”

“Untuk apa?”

“Saya mau dia bertanggung jawab. Dia yang membuat desa kita direndam banjir.”

“Apa perlu?”

“Sangat perlu.”

Maimunah tak bisa menahan keinginan suaminya pergi ke rumah kepala desa yang terletak di ujung jalan. Butuh waktu lima belas menit untuk sampai ke rumah berupa bangunan mewah itu. Sapraji mengucap salam di depan pintu pagar. Seseorang membukanya terburu-buru. Rupanya, banjir juga ikut merendam rumah orang nomor satu di desa Campoan.

Menunggu di ruang tamu selama hampir tiga puluh menit, Sapraji was-was kepala desa tak akan menemui dirinya. Seorang pembantu rumah tangga memberinya secangkir kopi dan mempersilakan Sapraji meminumnya. Ia juga mengatakan kepada Sapraji jika kepala desa sedang ada tamu dari kabupaten dan beberapa orang penting lainnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement