Kamis 27 Jun 2019 13:38 WIB

Zonasi Sekolah Bikin Resah

Resahnya calon peserta didik akibat zonasi sekolah akan merambah kepada orang tua.

Siswa mengikuti uji kompetensi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jalur prestasi di SMAN 1 Depok, Kota Depok, Jawa Barat, Selasa (25/6).
Foto: Republika/Prayogi
Siswa mengikuti uji kompetensi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jalur prestasi di SMAN 1 Depok, Kota Depok, Jawa Barat, Selasa (25/6).

Tahun ajaran baru telah dimulai. Berburu sekolah baru bagi anak didik yang telah selesai menempuh pendidikan pada jenjangnya. Namun pelbagai persoalan muncul dengan kebijakan baru dari dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), yaitu sistem zonasi sekolah.

Gayung bersambut, kata berbalas, kebijakan zonasi sekolah segera ditindak lanjuti di berbagai daerah. Di Jawa Timur misalnya, Pemerintah Provinsi Jawa Timur akan menetapkan pergub yentang pengaturan zonasi sekolah. Meskipun Gubernur Jatim Khofifah Indah Parawangsa tidak menjelaskan secara rinci seputar isi pergub yang kini sedang digodok, yang jelas, pergub akan mengatur soal zonasi pendaftaran ke SMA dan SMK (JawaPos.com).

Baca Juga

Kebijakan yang sama juga ditetapkan di Yogyakarta. Melalui pergub tentang sistem Zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dan sudah ditandatangani oleh Gubernur DIY,  Sri Sultan Hamengkubuwono X dan segera ditindak lanjuti dengan melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah di DIY (KRJOGJA.com).

Kebijakan zonasi sekolah ini rupanya mendapat respon dari berbagai pihak. Banyak anak didik mengeluhkan kebijakan ini. Pasalnya mereka yang memiliki nilai UN tinggi, tidak bisa menembus sekolah favorit yang diidamkan, disebabkan hanya karena domisili di luar zona sekolah tersebut. Sementara anak didik yang memiliki nilai terendah bisa masuk ke sekolah favorit disebabkan domisili yang dekat.

Banyak persoalan lain yang muncul akibat dari kebijakan zonasi sekolah ini. PPDB di tiap sekolah berkewajiban menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah, paling sedikit 90 persen dari total jumlah peserta didik yang diterima. Meskipun bertujuan baik, kebijakan ini menemui berbagai kendala.

Adapun niat baik tersebut seperti penghilangan 'kastanisasi', mempermudah jangkauan peserta didik sehingga mengurangi beban beaya transportasi, pemerataan dan kemajuan pendidikan di berbagai daerah dan masih banyak lagi tujuan lainnya.

Disebabkan kebijakan ini belum diimbangi dengan kebijakan memadainya sekolah-sekolah, maka memunculkan persoalan baru. Seperti penyediaan sarana dan prasarana yang memadai di berbagai sekolah di pelosok/daerah, tenaga pendidik yang merata dan persoalan lainnya yang membuat calon peserta didik enggan untuk memilih sekolah di tempatnya.

Resahnya calon peserta didik, juga akan merambah kepada orang tua. Sudah kesulitan mencari kebutuhan ekonomi masih ditambah dengan beban kesulitan mencarikan sekolah bagi anaknya. Sungguh akankah umat selalu hidup dalam kesusahan dan keresahan? Kami, rakyat, menunggu kebijakan yang totalitas, bukan kebijakan yang tambal sulam.

Pengirim: Sunarti, Ngawi

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement