Jumat 21 Jun 2019 05:41 WIB

Bukan Kami (Kisah Partai Merah)

Mendukung partai merah berarti menentang keyakinan kami sebagai orang Islam.

Bukan Kami
Foto:

“Murni….Murni……!!” teriak seseorang yang sangat aku kenal.

Aku beranjak keluar dan melihat Miftah seorang diri dengan napas yang terengah-engah. Di tangan kirinya ada sebuah golok besar. Itu adalah senjata pemuda Ansor melawan partai Merah.

“Ada apa Miftah?” tanyaku.

“Murni, keadaan mulai berubah. Tentara mulai melakukan operasi menumpas Partai Merah. Kami sebagai penentang Partai Merah bahu-membahu melakukan operasi ini. Aku ingin menyampaikan bahwa di dalam daftar nama pengikut rapat Partai Merah terdapat nama ayahmu…….. sebelum terjadi penangkapan, lebih baik kau sekeluarga pergi dari dukuh ini. Aku takut kalian terkena amuk massa…..” ucap Miftah yang masih terengah-engah.

Aku sangat terkejut. Aku tahu saat seperti ini akan terjadi. Namun, tidak secepat ini. Aku bahkan belum bicara apa pun dengan ayahku karena mulai saat ayah ikut rapat Pak Ginu, ayah jarang berada di rumah. Ayah hanya pulang dan menaruh bungkusan di meja dapur lalu pergi lagi.

Samar kami berdua mendengar suara tembakan dan teriakan. Bergegas Miftah pamit dan aku pun mencari Soleh dan Ibu. Aku sangat takut. Di rumah tidak aku temukan Soleh. Ibu pun tidak ada di kamar. Tidak ada di dapur. Aku beranjak ke sungai dengan berdoa agar aku tidak terlambat.

Aku berlari secepatnya menggunakan jalan pintas. Sepintas aku melihat tentara yang sedang mengepung rumah Pak Ginu. Rasa penasaran menyelimuti hati karena baru kali ini melihat tentara berseragam.

Aku melihat Soleh melambai-lambai ke arahku. Jarakku dengannya kira-kira seratus langkah. Aku berusaha berlari mendekati adikku satu-satunya itu, tetapi kakiku tidak kuat diajak berlari lagi. Soleh melambai-lambai memintaku agar cepat ke arahnya.

Ketika aku hanya berjarak sepuluh langkah, terlihat wajah Soleh tidak seperti biasanya. Jelas terlihat dia habis menangis. Matanya merah diiringi sesenggukan dan kakinya penuh lumpur sawah.

“Ada apa Soleh? Kau lihat ayah dan ibu? Kenapa kau menangis?” tanyaku.

Suara tembakan terdengar lebih dekat. Soleh meraih tanganku dan mengajaknya berlari ke suatu tempat. Tapi, arah lari kami bukan ke rumah kami. Aku menurut saja pada Soleh. Aku yakin ada hal yang Soleh yakin aku harus ke sana.

Teriakan terdengar lagi setelah gelegar suara bedil tentara. Jalan yang kami lalui bukanlah jalan biasa yang orang sering lalui. Soleh mengambil jalanan tidak melalui pematang sawah. Kami menginjak-injak sawah yang masih basah hingga kaki kami kadang tenggelam satu dua jengkal ke dalam lumpur sawah.

Soleh mengajak aku memutar menuju lapangan bola. Di situ puluhan tentara dengan bedil tengah sibuk mengumpulkan banyak sekali orang yang terikat dibantu ratusan pemuda Ansor bersenjata tajam. Soleh menarikku dan menundukkan badan dan bergegas memutar lagi dan menuju sebelah selatan lapangan dan masuk jalan kecil.

Kami melewati rumah-rumah penduduk di mana kami saksikan anak-anak kecil menangis. Hampir di tiap rumah kami lihat anak-anak dua tahun beserta kakaknya seumuran Soleh menangis.

“Ibu…..Bapak……jangan pergiiiiii…..” teriak mereka.

Sampai aku di depan penggilingan padi dukuh sebelah. Terkejut aku melihat pemandangan yang sangat aku khawatirkan akan terjadi. Soleh menunjuk jarinya pada dua sosok yang kami sangat kenal. Kedua orang tersebut kini terikat dan dijaga oleh dua orang tentara dan empat pemuda Ansor.

Aku tak kuat menahan diri. Aku tak bisa berdiam diri saat orang yang aku sayangi mengalami hal seperti ini. Kakiku mendadak kuat dan aku berlari menuju barisan orang yang terikat.

“Ibu….ayah…….” aku langsung memeluk mereka.

Dua orang tentara terlihat tidak suka dan menyuruh aku menjauh dari mereka. Melihat aku dan Soleh.

“Murni…Soleh lebih baik kalian jangan ke sini. Keadaan bisa tambah buruk……” kata Miftah.

“Tidak….aku hanya punya mereka… jangan tangkap mereka…..lepaskan…… bukan orang tua kami yang harusnya diikat…..lepaskan…” teriak aku.

Soleh menangis sambil memeluk ibu dan ayah. Aku berusaha membuka ikatan ayah dan ibu. Tindakanku ternyata membuat seorang tentara marah. Ikatan ayah terhubung pada ikatan ibu lalu ke orang di belakangnya.

“Hentikan itu! Atau kau pun kami tangkap….” ancam seorang tentara.

“Bukan kami yang harus kau tangkap……..bukan kami…….bukan kamiiiii…….” teriakku.

Miftah menarik aku dan Soleh menjauh dari kedua orang tua kami. Ayah dan ibu menangis menatap kami. Mulut mereka bergetar seolah-olah ingin mengatakan sesuatu. Aku dan Soleh tidak peduli apa yang terjadi di sekitar kami. Saat itu kami hanya menatap wajah ayah dan ibu. Tangisan anak-anak lain pun tidak terbilang jumlahnya.

“Jaga Soleh baik-baik Murni…….” ucap ayah.

Aku mengangguk perlahan. Soleh makin kencang menangis saat para tentara membawa semua yang terikat naik truk tentara. Bukan kami yang seharusnya menderita seperti ini. Bukan kami.

TENTANG PENULIS

ANDRIONO KURNIAWAN adalah seorang guru SMA Islam NFBS, pegiat literasi dari Rumah Dunia Serang Banten, penulis esai dan cerpen, wakil Indonesia dalam program IREX 2007 USA, wakil Indonesia dalam pertukaran guru Indonesia- Korsel 2018, tinggal di Cinangka Serang Banten hingga sekarang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement