Senin 17 Jun 2019 17:28 WIB

Ombdusman Terima 24 Laporan Pengaduan PPDB di Kota Bandung

Orangtua komplain mengenai pelaksanaan PPDB yang dinilai masih bermasalah

Rep: Zuli Istiqomah/ Red: Esthi Maharani
Wakil Gubernur Jabar, Uu Ruzhanul Ulum memantau Pelakasanaan PPDB di SMAN 8 Kota Bandung Jalan Slontongan, Senin (17/6).
Foto: Republika/Arie Lukihardianti
Wakil Gubernur Jabar, Uu Ruzhanul Ulum memantau Pelakasanaan PPDB di SMAN 8 Kota Bandung Jalan Slontongan, Senin (17/6).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Ombudsman RI perwakilan Jawa Barat menerima laporan pengaduan terkait pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 tingkat SD dan SMP di Kota Bandung. Tercatat ada 24 laporan pengaduan dari warga Kota Bandung yang masuk ke Ombudsman.

Asisten Ombudsman RI perwakilan Jawa Barata Sartika Dewi mengatakan pengaduan yang masuk adalah para orangtua yang komplain mengenai pelaksanaan PPDB yang dinilai masih bermasalah. Mulai dari pelaksanaan teknis sesuai aturan yang mengatur hingga masalah data calon siswa yang rawan melanjutkan  pendidikan (RMP).

Sartika menuturkan beberapa keluhan yang masuk menyoroti masalah skor bagi siswa yang mendaftar lewat jalur prestasi. Adanya ketidakpahaman pelaksana teknis di sekolah dengan aturan yang menjadi landasan seperti dalam peraturan wali kota.

"Misalnya seperti penafsiran penginputan data prestasi. Di perwal itu ada prestasi olahraga atau kejuaran. Beberapa operaror mungkin baru atau kurang waktu mempelajari dia memasukan itu ke kejuaraan. Sehingga skornya pada saat mendaftar tahunya itu tinggi tapi pada saat dilakukan pemeriksaan ternyata ada salah yang dialihkan ke penghargaan yang otomatis skornya kurang," kata Sartika usai audiensi dengan Pemkot Bandung di Balai Kota Bandung, Senin (17/6).

Ia menuturkan dugaan temuan yang berdasarkan laporan ini dikarenakan adanya ketidakpahaman yang dilakukan di tingkat sekolah. Sehingga berdampak pada kekecewaan para orangtua murid.

Selain itu, kata dia, disoroti juga soal laporan terkait jalur RMP. Dalam PPDB tahun ini data siswa RMP didasarkan pada database warga miskin yang dimiliki Dinas Sosial Kota Bandung. Menurutnya di samping ada kelebihannya, sistem ini juga memiliki kekurangan jika tidak dikelola dengan baik.

Menurutnya data miskin warga bersifat dinamis sehingga perlu pembaharuan secara terus menerus dan cepat. Hal ini menjadi sorotan karena adanya laporan siswa yang tidak bisa diterima di sekolah negeri karena tidak terdaftar di database Dinsos sementara ia memiliki Kartu Indonesia Pintar (KIP).

"Di kami ada laporan dia sudah menunjukkan KIP, itu sudah menunjukkan dalam konteks pendidikan dia membutuhkan bantuan pemerintah. Tetapi karena dia tidak terdaftar di dinsos ketika mengurus waktunya habis dan baru selesai di 10 juni. Otomatis ini anak mau lewat zonasi jarak jauh, mau RMP tidak bisa karena tidak lengkap," tuturnya.

Ia menilai pada PPDB ini adanya ketidakselarasan antara Disdik sebagai leading sector dengan pelaksana di tingkat sekolah. Akibatnya keluhan yang ada di masyarakar seolah-olah salimg lempar kewenangan antara Disdik dan pihak sekolah.

 

"Secara substansi, kebanyakan komplainnya lebih pada substansi yang sudah diatur dalam perwal tapi kemudian itu menimbulkan penafsiran yang berbeda di tingkatan pelaksaan teknis terutama di sekolah," ujarnya.

Ia menyebutkan dari 24 pengaduan, 90 persen mengeluhkan PPDB di tingkat SMP. Sementara untuk tataran PPDB tingkat SD lebih menyoroti terkait umur anak yang minimal berusia tujuh tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement