Rabu 12 Jun 2019 05:33 WIB

Lebaran di Perantauan (Cerita Pendek)

Merayakan Lebaran di negeri orang, bahagia, rindu, sedih campur jadi satu

Lebaran di Perantauan (Ilustrasi cerpen)
Foto:

Himpitan ekonomi serta kondisi Emak yang makin tua dengan tenaga yang mulai berkurang, membuat keluarga kian terpuruk. Sebagai anak sulung akulah pengganti tulang punggung di keluarga. Berbekal ijazah Sekolah Dasar (SD), kumantapkan kaki meninggalkan kampung halaman. Taiwan, di sinilah segala impian dan masa depan keluarga kupertaruhkan.

Dulu, saat di penampungan, aku sering bertanya pada Mba Sri, bagiamana keadaan Taiwan. Ia seorang tenaga kerja wanita yang pulang ke Indonesia mengambil cuti, dan kembali lagi dengan proses Calling Visa.

“Mba Sri, kalau di Taiwan nanti pekerjaan seperti apa?” tanyaku penasaran.

“Ya begitu, Na. Kalau aku merawat seorang kakek yang sudah pikun, tetapi majikanku tidak tinggal bersama kami sehingga aku bebas mau ngapain aja. Kalau sudah beresan ya aku bermain Facebook.”

“Facebook opo to, Mba?”

“Ini lho, Na. Kita bisa ketemu dengan banyak orang di HP, bisa untuk juga untuk baca berita, nyanyi, terus siaran langsung,” terangnya, “nanti kalau kamu sudah sampai Taiwan juga pasti tahu, Na. Pokoknya kita bisa banyak teman di Facebook. Bahkan ada juga yang sampai nikah dengan kenalan yang di dunia maya.”

Tidak henti-hentinya Mba Sri menjelaskan tentang Facebook, dan memamerkan handphone barunya. Bentuknya lebar, dan layarnya jika disentuh bisa bergerak sendiri.

Dahulu, sebelum bekerja ke luar negeri, Mba Sri seperti halnya gadis desa kebanyakan. Dandannya kerap memakai rok balon bunga-bunga dengn baju katun kerut di lengan.

Rambutnya juga masih keriting dan berwarna hitam. Tetapi, sejak kepulangannya pertama, penampilannya total berubah. Bak penyanyi dangdut yang sering kulit di TV saat menonton di rumah pak RT. Sekarang rambutnya ada tiga warna. Merah, kuning, dan hijau. Persis warna kue lapis, yang dijual Mbok Minah yang dulu rumahnya di seberang jalan. Hidungnya juga ditindik dan anting-anting penuh menghiasi telinga.

Sayangnya, Taiwan tak seindah foto profil di Facebook ataupun semanis yang Mba Sri jelaskan padaku. Karena semua keberuntungan itu tak kuras kan. Rumah tempatku bekerja berukuran besar, lima lantai, lengkap dengan garasi mobil, taman, kolam.

Majikanku juga memiliki kebun luas yang ditanami bermacam-macam jenis sayuran. Jika musim panen, aku harus bangun jam empat bangun untuk ikut tuan memetik labu, kacang panjang, dan sawi. Karena, jika kesiangan, ibu pedagang sayur yang kami setori tidak mau membeli. Belum lagi menghadapi nenek yang kerap merajuk dan tidak mau diurusi.

Tetapi, semuanya aku lalui dengan sabar, demi melihat senyum yang mengembang di bibir Emak dan kedua adikku agar tidak lagi dianggap remahan rempeyek oleh tetangga. Aku bosan hidup dalam kesengsaraan.

***

“Minal ‘Aidhin wal Faizin, Mak. Mohon maaf lahir dan batin.”

“Iya, sama-sama, Nduk. Mamak juga minta maaf ya karena selalu merepotkanmu. Bahkan sekarang emak dan adik-adik bergantung hidup padamu,” suara emak terdengar parau di seberang sana.

Aku tahu emak tengah menahan tangis yang tak berani ia tumpahkan. “Bagaimana kabar emak dan adik-adik sekarang?”

“Emak baik, Nduk. Adikmu Yanto sudah masuk SMP, sedangkan Tatik sekarang kelas empat SD.”

Kesedihanku seolah menguap begitu saja, seiring mendengar orang-orang yang kusayangi dalam keadaan bahagia dan hidup layak seperti orang lain. Pergi ke sekolah, bermain dan membaur dengan anak-anak sebaya mereka. Bisa memberi jajanan dan permen saat di sekolahan.

Tidak seperti kehidupanku dahulu, yang hanya tahu bagaimana mengambil jagung yang bekas dipanen orang. Jagung-jagung tersebut kami bawa pulang untuk dijual atau diolah menjadi nasi. Disantap bersama sambel tumpeng buatan emak, yang sekarang menjadi makan idaman yang ingin kunikmati.

“Ah… Emak, rasanya aku ingin sekali menikmati masakan olahan tanganmu.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement