Selasa 21 May 2019 07:47 WIB

Diskriminasi Kompeni: Pribumi dan Anjing Dilarang Masuk

Pemerintah Hindia Belanda sering melakukan diskriminasi kepada warga Indonesia

Inlander (pribumi) menganglut penyu di Jawa Barat pada tahun 1900.
Foto: Gahetna.nl
Inlander (pribumi) menganglut penyu di Jawa Barat pada tahun 1900.

Ketika melakukan ekspedisi mencari rempah-rempah, Perkumpulan Dagang Belanda (VOC) semula tidak berminat membuat pangkalan di Sunda Kalapa. Mereka memilih Ambon, produsen rempah-rempah. Pertimbangan kemudian berubah karena letak Sunda Kalapa lebih dekat ke Eropa.

Pada 1619, VOC menyerbu Jayakarta yang menguasai Sunda Kalapa. Kadipaten Jayakarta di bakar habis, termasuk masjid. Penduduknya kemudian hijrah ke Jatinegara Kaum di Pulo Gadung, Jakarta Timur.

Penduduk asli Betawi tidak dibenarkan tinggal di muara Ciliwung. Pada masa Jayakarta, daerah ini (sekitar terminal angkutan sekarang) khusus untuk hunian pejabat tinggi Jayakarta. Di dekatnya (sekitar Stasiun Beos), masih ada binatang buas yang menjadi tempat buruan ningrat Jayakarta.

Masa VOC berlangsung sampai 1799, ketika organisasi dagang yang punya hubungan sampai Jepang dan Amerika Latin ini dinyatakan bangkrut dan meninggalkan utang. Kejatuhan VOC akibat korupsi besar-besaran.

Kebangkrutan VOC ini seharusnya menjadi pelajaran berharga karena korupsi merupakan musuh yang membuat masyarakat menderita. Kita tidak tahu apakah korupsi yang besar-besaran sekarang ini merupakan warisan VOC.

Tapi, Bung Hatta pernah menyatakan korupsi di Indonesia merupakan kebudayaan. VOC kemudian digantikan Nederlandche Handels Maatchappij (NHM) yang kantor pusatnya masih bisa ditemui di depan Stasiun Beos. Kantor NHM sekarang dijadikan Museum Bank Mandiri.

Pada masa kolonial (1799-1942) diselingi kekuasaan Inggris (1811-1816), pergerakan politik di Eropa berpengaruh pada negeri jajahan Belanda. Pada 1813 terjadi peperangan besar antara Inggris versus Prancis/Belanda dari Jalan Matraman sampai Jatinegara. Banyaknya korban dari perang tersebut membuat mayat-mayat berjatuhan di sekitar daerah yang saat itu masih berupa rawa-rawa yang akhirnya terkenal sebagai Rawabangke. Saat ini Rawabangke bersalin nama menjadi Rawabunga.

Catatan rentetan sejarah itu menunjukkan, orang Betawi tumbuh dalam pergolakan politik. Pemerintah Hindia Belanda yang disebut pemerintah kolonial melakukan diskriminasi. Mereka memperlakukan penduduk asli sebagai warga kelas III dengan sebutan inlanders (bangsa kuli di antara para kuli). Di tempat-tempat pertemuan kerap ada tulisan, “Pribumi dan anjing dilarang masuk”.

Namun Pemerintah Hindia Belanda memberantas korupsi yang membangkrutkan VOC. Perusahaan-perusahaan dan perkebunan berkembang luas. Sebagai contoh, KPM memiliki armada laut yang menjangkau hampir ke seluruh kepulauan.

Pada era Bung Karno, perusahaan raksasa Belanda dinasionalisasi. KPM setelah dinasionalisasi menjadi Pelni. Sayangnya, banyak yang tidak berjalan lebih baik atau bahkan lebih buruk. Kota Batavia melebar ke selatan pada abad ke-19. Lapangan Gambir (kini Monas) dan Lapangan Banteng dibuka serta gedung-gedung dibangun di sekitarnya. Kemudian, muncul bagian kota yang disebut Weltevreden.

Kota baru di bagian selatan dari pu sat kota lama ini dilakukan pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811). Dia juga membangun jalan raya dari Anyer (Banten) ke Panarukan (Jatim) sepanjang 1.000 kilometer.

Setelah itu, Belanda memekarkan Batavia ke arah timur, yakni Kampung Melayu, Jatinegara. Daerah ini dinamakan Meester Cornelis dari nama guru asal Banda yang juga pemilik tanah dan perkebunan di wilayah itu. Sampai 1905, Meester Cornelis, termasuk Matraman, merupakan gementer di luar Batavia.

Awal abad 20, orang Betawi mengenal perkumpulan. Di Pekojan berdiri Jamiatuol Khair, sekolah Islam modern pertama. Kemudian dari tempat ini berdiri al-Irsyad.

Pada 1918, Muhamad Husni Thamrin mendirikan Perkumpulan Kaum Betawi yang memiliki bagian pemuda. Pemuda Kaum Betawi ikut menandatangani Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Pada 1934, PAI (Partai Arab Indonesia) menyatakan kebulatan tekad sebagai bangsa dan tanah air Indonesia.

TENTANG PENULIS

ALWI SHAHAB, wartawan senior Republika yang akrab dipanggil Abah Alwi. Sejarawan dan penulis sejumlah buku sejarah tentang Batavia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement