Senin 20 May 2019 10:40 WIB

Bulan Memancar

Bulan memancar, memantulkan bayangan tubuh mereka ke permukaan aspal yang kasar

Bulan Memancar
Foto: Rendra Purnama/Republika
Bulan Memancar

Di luar, bulan memancar. Namun di sudut beranda, remang saja. Jame dan Latifa selalu mematikan lampu ketika mereka duduk-duduk di sana. Kalau saja daun-daun pohon tanjung di sisi pagar halaman itu tidak terlalu lebat, mungkin cahaya bulan akan lebih mudah menggambarkan wajah mereka.

“Mungkin kita memang harus memelihara kucing,” ujar Jame.

“Mengapa tidak dari dulu, Jame? Kita bisa memilih jenis yang kita suka,” jawab Latifa.

Jame membenamkan puntung rokoknya ke dalam asbak. Setelahnya, setenggak kopi hangat mengaliri tenggorokannya.

“Aku khawatir dengan alergimu. Menurutmu, apa ada jenis kucing yang tidak mudah merontokkan bulu-bulunya?”

Latifa bergumam tidak jelas. Ia mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya yang kurus dan panjang ke dahinya. “Aku tahu,” ujarnya kemudian. Namun suara Latifa tertahan oleh dering sebuah ponsel.

Jame mengangkat ponsel itu dan segera terlibat dalam pembicaraan dengan seseorang. Di ujung pembicaraan, Jame manggut-manggut seraya menoleh ke arah Latifa. “Ibu,” ujarnya lirih, seraya menjauhkan ponsel itu dari telinganya.

“Ada apa?” tanya Latifa selepas Jame menaruh ponselnya di atas meja.

“Kucing.”

Latifa menajamkan matanya ke arah Jame. Jame tampak sedih.

“Kucing kesayangan ibu hilang. Sudah berhari-hari. Ibu begitu sedih sepertinya.”

“Joan hilang?” tanya Latifa seolah tidak percaya.

Jame hanya mengangguk. Dalam suatu kesempatan, Latifa pernah bertemu dengan Joan. Waktu itu liburan panjang, Jame mengajaknya pulang ke kampung halaman. Nyaris selama seminggu, Latifa-lah yang paling rajin mengurusi kucing itu, meskipun sembari mencemaskan alerginya. Tapi seekor javanese berekor panjang ternyata memang tidak menyumbangkan banyak bulu rontoknya.

“Lima tahun belakangan, ibu mulai suka memelihara kucing. Bukan hanya Joan. Masih ada dua atau tiga yang lainnya, dan ibu selalu sedih jika terjadi sesuatu yang kurang baik pada kucing-kucing itu.”

“Mungkin ibu butuh lebih banyak teman di rumah,” tanggap Latifa.

Jame terdiam sejenak. Sejak ia menikah dengan Latifa dan harus tinggal jauh dari kota kelahirannya, ibunya hanya tinggal bersama ayahnya. Ayahnya adalah seorang pensiunan tentara yang lebih suka menghabiskan hari-harinya dengan pergi memancing atau berkebun.

“Mungkin rasanya seperti kita,” ujar Jame lirih.

Kalimat pendek Jame yang biasa-biasa saja itu segera membekas di hati Latifa. Bagaimanapun Jame telah mengatakan sesuatu yang menggambarkan suasana hatinya malam itu.

Bulan memancar dan langit sedang bersih di malam purnama itu. Tapi di sudut beranda, remang saja. Cahaya lampu dari ruang tamu hanya segaris tipis cercah yang menerobos lewat gorden jendela yang sedikit terkuak. Cahaya bulan sepertinya belum sanggup menerobos kelebatan daun-daun pohon tanjung dan atap beranda yang cukup rendah.

“Jadi, jenis apa yang menurutmu tidak terlalu berisiko dengan alergimu?”

Latifa menyarankan seekor russian blue. Tetapi boleh juga jika mendapatkan seekor javanese muda yang manis dan berwarna coklat.

“Seperti kucing kesayangan ibu,” tegas Latifa.

Jame setuju saja dengan saran Latifa. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada Latifa karena merasa tidak tahu sama sekali soal kucing.

“Bisa kubayangkan, bagaimana senangnya Hilda kalau kita benar-benar memiliki seekor kucing. Kau ingat, kan? Sewaktu anak itu merengek, tidak mau pulang dari rumah tetangga gara-gara seekor kucing. Padahal hanya kucing kampung biasa.”

“Iya, tentu aku ingat. Tapi sepertinya, anak itu tidak akan kemari lagi.”

“Ada apa? Beberapa hari ini aku tidak melihatnya bersamamu.”

Latifa berusaha tersenyum. Selepas menikmati kopinya beberapa sesapan, ia menceritakan sesuatu dengan suara yang berat.

“Dari yang bisa kutangkap, ibunya tidak pernah rela kalau anak itu nantinya akan lebih dekat dengan kita ketimbang dengan orang tuanya sendiri.”

“Apa itu bukan kekhawatiran yang berlebihan?”

“Aku tidak tahu, Jame. Kita tidak akan pernah tahu jenis perasaan macam apa itu, sebelum kita benar-benar menjadi orang tua,” jawab Latifa, sebelum kemudian beranjak ke peraduan.

Berikutnya hening. Jame masih bertahan di beranda dan kembali mem bakar rokoknya. Belakangan, Jame dan Latifa selalu tidur larut. Mereka sering menghabiskan waktu di sisi kota untuk memandangi pantai hingga dini hari atau mengunjungi kafe yang memainkan lagu-lagu The Beatles. Tapi malam itu mereka memilih diam di rumah.

Bosan di beranda, Jame melangkah keluar membuka pintu pagar halaman. Gang di depan rumah itu sunyi. Cahaya bulan memantulkan bayangan tubuh Jame ke permukaan aspal yang kasar. Jame iseng memandangi bulan yang telah condong ke barat. Ia teringat Hilda, bocah perempuan lima tahunan, yang sering berada di rumahnya. Hilda adalah anak kedua dari Rahma, adik iparnya. Dalam beberapa kesempatan, Jame pernah menceritakan dongeng tentang peri bulan kepada bocah itu.

“Hilda,” bisik Jame tiba-tiba.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement