Senin 29 Apr 2019 21:10 WIB

Nasihat untuk Pemimpin

Memberikan nasihat ke pemimpin untuk kemaslahatan umat termasuk amalan mulia

Memilih pemimpin (ilustrasi)
Foto: AHS
Memilih pemimpin (ilustrasi)

Manusia adalah tempatnya salah dan dosa. Tidak ada seorang pun manusia di dunia ini yang dapat menghindarkan diri dari salah dan dosa, kecuali nabi dan rasul yang selalu dibimbing oleh wahyu. 

Indikator kesuksesan hidup adalah membangun budaya saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran (QS al-Ashr [103]: 1-3). Islam memberikan perhatian serius dalam hal saling menasihati, termasuk nasihat untuk pemimpin. Dan, pada hakikatnya agama adalah nasihat. 

Baca Juga

Nabi SAW bersabda, “Agama adalah nasihat.” Para sahabat bertanya, “Untuk siapa?” Nabi menjawab, “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin, dan untuk seluruh umat Islam.” (HR Muslim dan Nasai).

Salah satu peruntukkan nasihat seperti yang disebutkan dalam hadis di atas adalah nasihat untuk pemimpin. Wa li-aimmatil muslimin. Hal ini menunjukkan, memberikan nasihat kepada pemimpin untuk kemaslahan umat termasuk amalan yang mulia, bahkan termasuk kategori jihad fi sabilillah (HR Ahmad).

Memberi nasihat pemimpin sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi, berarti menolong pemimpin dalam menjalankan kebenaran, mentaatinya dalam kebaikan, mengingatkannya dengan lemah lembut atas kesalahan yang diperbuat, mengingatkan kelalaiannya atas hak kaum Muslimin, tidak memberontaknya, dan membantunya dalam menciptakan stabilitas negara. 

Dalam perjalanan sejarah, para ulama dan pemimpin Islam telah memberikan keteladanan dalam memberikan nasihat kepada pemimpin. Seperti nasihat yang pernah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib kepada Gubernur Mesir, Malik bin Harits al-Asytar.

“Ketahuilah wahai Malik, aku telah mengangkatmu menjadi seorang Gubernur dari sebuah negeri yang dalam sejarahnya berpengalaman dengan pemerintahan yang baik dan buruk. Sesungguhnya orang-orang akan melihat segala urusanmu, sebagaimana engkau dahulu melihat urusan para pemimpin sebelummu. Rakyat akan mengawasimu sebagaimana engkau mengawasi pemerintahan sebelumnya.”

“Mereka akan berbicara tentangmu sebagaimana engkau berbicara tentang mereka. Sesungguhnya rakyat akan berkata yang baik-baik tentang urusan mereka yang berbuat baik kepadanya. Mereka akan ‘menyembunyikan’ semua bukti dari tindakanmu. Karena itu, harta terbesar akan engkau peroleh jika engkau dapat menghimpun harta dari perbuatan baikmu. Jagalah keinginanmu agar selalu di bawah kendali dan jauhkan dirimu dari hal-hal yang terlarang. Dengan sikap waspada engkau akan mampu membuat keputusan di antara sesuatu yang baik atau tidak baik untuk rakyatmu.”

“Kembangkan sifat kasih sayang dan cintailah rakyatmu dengan lemah lembut. Jadikanlah itu sebagai sumber kebijakan dan berkah bagi mereka. Jangan bersikap kasar dan jangan memiliki sesuatu yang menjadi milik dan hak mereka.”

“Mereka adalah makhluk yang lemah, bahkan kadang melakukan kesalahan. Maka, berikanlah ampunan dan maafmu sebagaimana engkau memohon ampunan dan maaf dari-Nya. Sesungguhnya engkau berada di atas mereka dan urusan mereka ada di pundakmu. Sedangkan Allah berada di atas orang yang mengangkatmu. Allah telah menyerahkan urusan mereka kepadamu dan menguji dirimu dengan urusan mereka.” 

Lalu, bagaimana cara memberi nasihat, terutama nasihat untuk pemimpin? Islam agama yang sempurna telah memberikan panduan dalam hal memberikan nasihat kepada pemimpin. 

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang ingin menasihati pemimpin, jangan dilakukan secara terang-terangan. Nasihatilah dia di tempat yang sepi, jika menerima nasihat, maka sangat baik dan bila tidak menerimanya, maka kamu telah menyampaikan kewajiban nasihat kepadanya.” (HR Imam Ahmad).

Tidak bijak mengoreksi kekeliruan pemimpin melalui mimbar terbuka sehingga menimbulkan fitnah dan kegaduhan. Usamah bin Zaid ketika menasihati Utsman bin Affan bukan dengan cara mencaci di depan umum atau mimbar. Imam Ibnu Hajar berkata, Usamah telah menasihati Ustman bin Affan dengan cara yang sangat bijak dan berakhlak tanpa menimbulkan kegaduhan.

Imam Syafi’i berkata, barangsiapa menasihati temannya dengan rahasia, maka ia telah menasihati dan menghiasinya dan barangsiapa yang menasihatinya secara terang-terangan, maka ia telah mempermalukan dan merusaknya. 

Menasihati pemimpin harus berangkat dari sebuah kepahaman tentang apa yang akan dinasihatkan. Karenanya, orang yang hendak menasihati pemimpin harus memiliki bekal ruhiyah agar nasihat dapat berpengaruh, antara lain ikhlas dalam memberi nasihat. 

Nabi SAW bersabda kepada Abdullah bin Amr, ”Wahai Abdullah bin Amr jika kamu berperang dengan sabar dan ikhlas, maka Allah membangkitkan kamu, sebagai orang yang sabar dan ikhlas dan jika kamu berperang karena riya, maka Allah akan membangkitkan kamu sebagai orang riya dan ingin dipuji.” (HR Abu Daud).

Kemudian, mendahulukan sikap jujur dan berani dalam memberikan nasihat. Rasulullah SAW bersabda, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang dzalim.” (HR Abu Daud). 

Semoga Allah menanamkan keberanian kepada masyarakat untuk menyampaikan nasihat kepada pemimpin, dan menanamkan ketulusan kepada pemimpin untuk menerima nasihat dan kritikan. Amin

Pengirim: Imam Nur Suharno, Kepala HRD dan Personalia Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement