Ahad 28 Apr 2019 07:47 WIB

Ironi Pesta Demokrasi

Ironi pesta demokrasi dimana terjadi saling tuduh kecurangan dan korban petugas KPPS

Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4/2019).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4/2019).

Pesta demokrasi telah usai digelar pada Rabu, 17 April 2019 lalu. Menyisakan banyak cerita dibalik pesta 5 tahunan ini. Dari mulai debat paslon Capres Cawapres yang begitu hangat, masing-masing saling adu janji yang begitu memikat. Ditambah para pendukung yang begitu semarak, tak sedikit juga diantara mereka saling memojokkan kubu yang berlawanan.

Tak hanya Capres dan Cawapres. Hal yang sama pun dilakukan para Caleg (Calon Legislatif) yang mewakili partai tertentu. Semua berebut meraih dukungan rakyat, mengunjungi ulama, pesantren, membantu pembangunan masjid, hingga ritual bagi-bagi amplop pun tak terlewat.

Baca Juga

Kegiatan tersebut barulah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum pemilu. Pada hari pelaksanaan faktanya tak kalah heboh. Terjadi kegaduhan di masyarakat karena saling tuduh masing-masing pihak melakukan kecurangan dalam proses pemungutan suara.  Belum lagi yang membuat hati ini semakin teriris, dikutip dari Republika.co.id, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Viryan mengatakan jumlah kelompok panitia pemungutan suara (KPPS) yang meninggal saat bertugas terus bertambah.

Begitulah proses pesta demokrasi rakyat yang dilewati dengan berbagai macam kontroversi yang sangat menyayat hati.  Bagaimana tidak? Harusnya moment ini adalah agenda yang ditunggu-tunggu karena bangsa ini akan memilih dan mendapatkan pemimpin yang diharapkan mampu mewujudkan kesejahteraan yang nyata bagi masyarakat. Justru malah terjadi kekacauan yang tak kunjung usai.

Inilah potret perpolitikan di negeri kita, politik demokrasi yang begitu mahal membuat celah korupsi semakin liar dikalangan petinggi partai. Proses pemilihan pemimpin dibuat rumit dengan teknis yang membuat dahi merenyit.

Ditambah jika memang benar adanya kecurangan, maka ini semakin menguatkan bahwa politik ala demokrasi memang menjadikan kekuasaan diatas segalanya. Tak peduli dengan tindak keji, semua dilalui untuk mengejar kursi. Sungguh ironi!

Berbeda sekali dengan politik Islam yang berasaskan akidah Islam. Ketakwaan adalah dasar segala perbuatan. Termasuk dalam hal memilih pemimpin. Tak akan berani melakukan hal kecurangan hanya demi mendapatkan kursi kehormatan.

Masing-masing pribadi menyadari bahwa akan ada hisab di setiap perbuatan yang dilakukan. Terlebih, negara tak akan mengambil teknis pemungutan suara dengan cara yang rumit bahkan berpotensi menghilangkan nyawa seseorang. 

Maka, akan dipilih proses pemungutan suara yang mudah, tepat dan akurat. Tak perlu biaya mahal, apalagi dengan berhutang yang akan membuat rakyat semakin sengsara.

Demikianlah gambaran politik Islam yang penuh dengan keagungan yang meniscayakan peradaban yang gemilang. Untuk mewujudkan yang demikian maka keharusan bagi kita memilih Islam dan menerapkannya secara keseluruhan. Wallahu a'lam bish- shawab

Pengirim: Ummu Abrisam Elfarezqy, Aktivis Muslimah

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement