Kamis 11 Apr 2019 15:54 WIB

Hilang Malu, Kasus Perisakan Kembali Berulang

Para pelajar muslim telah hilang malu sehingga berani melakukan perisakan

Empat dari 12 siswi SMU yang diduga menjadi pelaku dan saksi dalam kasus penganiayaan siswi SMP berinisial AU (14) berdiskusi dengan kerabat di sela jumpa pers yang digelar di Mapolresta Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (10/4/2019).
Foto: Antara/Jessica Helena Wuysang
Empat dari 12 siswi SMU yang diduga menjadi pelaku dan saksi dalam kasus penganiayaan siswi SMP berinisial AU (14) berdiskusi dengan kerabat di sela jumpa pers yang digelar di Mapolresta Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (10/4/2019).

Lagi dunia pendidikan tercoreng kembali dengan kasus perisakan terhadap seorang remaja putri viral di jagad media sosial, khususnya twitter. Tagar #JusticeForAudrey sempat menduduki trending topic beberapa jam yang lalu. Broadcast tanda tangan petisi menuntut keadilan untuk AU yang dilayangkan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun tak ketinggalan. 

AU merupakan seorang siswi SMP berusia 14 tahun yang menjadi korban perisakan 12 siswi SMA secara brutal itu, kini tengah menjalani perawatan intensif di rumah sakit akibat luka yang dideritanya. Menurut  penuturan  yang dimuat surat kabar setempat yakni tribun pontianak, kronologi kasus perisakan ini berawal dari masalah asmara dan berbuntut pada komentar di media sosial hingga berujung nahas pada tindakan pengeroyokan. 

Baca Juga

Betapa malang apa yang menimpa AU ini, akibat kebrutalan sesama pelajar tersebut ia tak hanya mengalami trauma secara fisik namun juga trauma psikis yang luar biasa. Sementara di sisi lain, para pelaku perisakan menunjukkan sikap tidak merasa malu dan bersalah atas apa yang mereka lakukan terhadap korban. Bahkan, pada akun sosial medianya mereka terlihat santai dan masa bodoh dengan apa yang telah terjadi. 

Ironis bukan, apa yang kembali dipertontonkan oleh wajah pendidikan negeri ini. Padahal notabene, program kurikulum pendidikan berkarakter cukup santer didengung-dengungkan dan dibanggakan oleh rezim saat ini. Namun, nyatanya kasus perisakan di kalangan remaja masih terus saja marak. Inilah salah satu potret pendidikan yang disandarkan pada sekulerisme. 

Sekulerisme secara perlahan-lahan telah mengebiri rasa malu pada diri pelajar muslim tersebut. Pendidikan agama yang didapatkan oleh para pelajar hanya habis di jam sekolah sebagai sebuah formalitas, namun dalam kehidupan sehari-hari di luar sekolah nilai-nilai moral agama itu hilang tak berbekas. 

Padahal Rasulullah SAW telah mengingatkan pada kita sebagai seorang muslim agar menjaga dan menghiasi dirinya dengan rasa malu. Sebab, sifat malu merupakan salah satu sifat terpuji yang bisa mengendalikan orang yang memilikinya dari perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ

“Rasa malu itu hanya mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Imron bin Hushain)

Dalam hadits yang lain juga Rasulullah SAW menyebutkan bahwa rasa malu adalah bagian dari iman. Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Iman itu terdiri dari 70 sekian atau 60 sekian cabang. Cabang iman yang paling utama adalah ucapan la ilaha illalloh. Sedangkan cabang iman yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari tempat berlalu lalang. Rasa malu adalah bagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian menanamkan dan menjaga tetapnya rasa malu pada setiap individu muslim merupakan sebuah keharusan bagi individu, masyarakat dan juga negara yang mayoritas berpenduduk muslim ini. Pengajaran sifat terpuji tersebut tak cukup dibebankan kepada lembaga formal sekolah. Namun lebih dari itu keteladanan dari keluarga, masyarakat bahkan negara pun berperan penting dan bertanggungjawab atas keberlangsungan rasa malu tersebut. Walhasil, hanya dengan rasa malu, maka aka terjagalah martabat kemanusiaan kita secara pribadi dan selamatlah tatanan kehidupan secara keseluruhan. 

“Malulah kamu sekalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu”.(HR At-Tirmidzi). 

Wallâhu a‘lam bish-shawâb. 

Pengirim: Anisa Mumtazah

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement