Sabtu 06 Apr 2019 14:34 WIB

Hoaks dan UU Terorisme, Penegak Keadilan atau Ambisi Politik

Menkopolhukam menyebut para penebar hoaks akan diancam UU Terorisme

Hoaks (ilustrasi)
Foto: Dok Republika.co.id
Hoaks (ilustrasi)

Berawal dari pernyataan Wiranto, Menkopolhukam yang menganggap bahwa hoaks merupakan ancaman baru dalam Pemilu 2019. Menurutnya hoaks tersebut telah serupa dengan aksi teror, seperti yang terjadi terkait pemilihan presiden (pilpres) atau pemilu 2019. “Kalau masyarakat diancam dengan hoaks untuk tidak ke TPS (tempat pemungutan suara), itu sudah terorisme," ucap dia dikutip dari katadata akhir pekan lalu.

Wiranto mewacanakan akan memberlakukan UU Anti terorisme untuk memberantas hoaks jelang pemilu 2019. Pernyataan ini pun menimbulkan reaksi pro kontra di masyarakat.

Baca Juga

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengaku belum menemukan dalil usulan Wiranto. "Saya belum menemukan dalilnya. Saya cari-cari. Teroris itu kan satu tindakan kekerasan yang membuat orang takut. Korbannya masyarakat umum. Membahayakan jiwa dan sebagainya." Pada akhir bulan lalu.

Memang suatu hal yang lumrah terjadi di alam demokrasi bahwa kekuasaan adalah segalanya. Dan rezim atau penguasa pasti selalu berusaha sekuat tenaga mempertahankan kekuasaan agar tetap berjaya.

Maka, tak heran menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) banyak lika-liku politik yang dilakukan untuk mencapai tujuan politik yakni menduduki dan mempertahankan kekuasaan. Salah satunya adalah dengan wacana ini, dimana pelaku hoaks terancam dihukumi dengan UU Terorisme. Padahal jika meneliti hukum di Indonesia mengenai pelanggaran terkait penyebaran berita bohong itu sudah tercantum di dalam UU ITE.

Disini tergambar jelas bahwa pemerintah begitu berambisi dalam mengejar tujuan politik. Kekuasaan menjadi hal utama yang begitu di damba dan begitu memaksa.

Yang tak sejalan maka akan dibabat habis tak tersisa. Akhirnya hukum berjalan sesuai kepentingan, tak lagi berjalan sesuai fungsinya yakni sebagai penegak hukum dan keadilan. Bahkan ini dapat dijadikan senjata bagi rezim untuk membasmi lawan politik dengan berlindung dibawah UU.

Begitulah gambaran jelas bagaimana politik demokrasi begitu rumit dan penuh dengan intrik. Sangat berbeda dengan Islam. Dimana Islam menetapkan kekuasaan sebagai pelaksana hukum syariat yang dijalankan dengan dasar ketakwaan. Kekuasaan hanya dijadikan wasilah atau jalan untuk menerapkan syariat.

Sehingga tak akan menggunakan cara kotor dalam menempuh kekuasaan. Terjalin hubungan yang harmonis antara penguasa dan rakyat dimana senantiasa saling menasehati dalam kebenaran tumbuh subur di tengah-tengah mereka.

Muhasabah atau mengoreksi penguasa akan terus dilakukan demi terwujudnya pelaksanaan hukum yang tak menyimpang. Maka menerapkan Islam dalam seluruh aspek merupakan solusi bagi masalah bangsa yang sedang dihadapi. Wallahu a'lam bish shawab

 

Ihat Solihat

(Aktivis Muslimah)

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement