Kamis 04 Apr 2019 18:06 WIB

Korupsi Tumbuh Subur dalam Kubangan Lumpur Penuh Pelipur

Korupsi tumbuh subur dari level DPR hingga kasir koperasi kementerian

Ilustrasi Korupsi
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Ilustrasi Korupsi

Kasus korupsi terus tumbuh subur melanda negeri. Per 31 Desember 2018, penanganan tindak pidana korupsi oleh KPK berhasil mengeksekusi 113 perkara dari 81 perkara di tahun 2016 (acch.kpk.go.id). Bahkan di tahun 2019, pejabat negeri kembali berulah menambah daftar penyelidikan KPK. 

Penularannya pun berjalan begitu cepat hingga terus menaikkan peringkat. Dari tingkat DPR, DPRD, ketua partai, menjerat pula kementerian agama karena kasus jual beli jabatan. 

Baca Juga

Bahkan kasir koperasi kemenag pun berhasil mengantongi Rp 3,3 Miliar uang negara. Tersistem dan saling berkaitan, bertambah dan terus berulang.

Apalagi jeratan korupsi banyak menaburi para politikus parpol. Berawal dari pengeluaran dana kampanye yang mencapai miliaran rupiah, pemberian mahar politik hingga pembayaran saksi di tempat pemungutan suara. Ade Irawan Wakil Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) menyatakan, “biaya politik yang besar dan mahar politik berakibat mereka yang terpilih rentan melakukan korupsi” (voaindonesia.com, 14/01).

Sehingga, tidak ada jaminan orang baik akan selamat dari korupsi, karena demokrasi-kapitalis berbalut lumpur sekuleris. Memisahkan agama dari kehidupan duniawi, menjadikan agama tidak boleh ikut campur dalam urusan pemerintahan. Bolehnya, saat mendekati pemilihan jabatan. Jadi wajar jika sholat iya, mengambil uang rakyat iya. Membaca Al-quran iya, berbohong juga iya. Allah SWT dianggap hanya ada di masjid dan rumah mereka, keluar dari semuanya, bisa bebas melakukan apa saja.

Itulah wajah korupsi dalam sistem demokrasi, subur bak jamur yang terkungkung dalam kubangan lumpur penuh pelipur. Lihai menggaet orang dengan iming-iming harta maupun tahta, menjadikan dusta hal yang biasa. Mengabaikan balutan lumpur dosa karena tergoda para penghiburnya.  

Sistem yang boros, rusak, nan merusak, telah mengebiri keadilan untuk rakyat serta kehormatan pejabat maupun negara. Demi menduduki jabatan tertinggi duniawi, semua cara dinggap sah selama uang bisa kembali setelah habis untuk kampanyesasi. Jabatan bagaikan segalanya hingga mengalahkan aturan Sang Pemberi jabatan dunia (baca: kenikmatan dunia) yang sifatnya sementara. 

Dengan demikian, dikutip dari detik.com, Guru Besar Universitas Jenderal Soederman (Unsoed) Purwokerto, Prof Hibnu Nugroho untuk memutus tali korupsi harus ada tindakan yang radikal dan total, karena kementerian ini harus menjadi panutan bagi kementerian lain. Karena tanpa tindakan secara total, mata rantai korupsi sulit untuk diputuskan.

Total menerapkan kembali aturan Sang Pemberi nikmat harta maupun jabatan. Aturan Islam yang telah terbukti mampu meningkatkan keimanan dari sisi individunya, mengatur masyarakat secara adil dengan terpenuhinya kebutuhan tiap individu, serta sistem perpolitikan yang hemat dan pemerintahan yang menerapkan sanksi secara tegas, sanksi yang bersifat jawabir (menebus dosa) dan jawazir (membuat jera).

Pengirim: Himatul Solekah, Pemerhati Media

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement