Rabu 27 Mar 2019 09:48 WIB

Lelaki Pengurus Orang Mati

Fatimah begitu mencintai Kris, meski laki-laki itu bekerja sebagai pengurus jenazah

Lelaki Pengurus Orang Mati
Foto: Rendra Purnama/Republika
Lelaki Pengurus Orang Mati

Tidak bisa dibohongi, sesungguhnya Kris tidak rela bila cintanya harus pupus. Tadi pagi Fatimah menemuinya dengan wajah sedih, menyampaikan perihal sebab ia bersedih. Sama seperti Kris, Fatimah juga tak rela. Ia begitu mencintai Kris. Orang tua Fatimah tak menyetujui bila hubungan itu harus berlanjut ke jenjang pernikahan, dengan alasan hanya gara-gara Kris yang bekerja sebagai pengurus orang mati.

Ya, Kris bekerja sebagai pengurus orang mati. Ia bergabung di sebuah komunitas. Kegiatan utama komunitas itu tentu saja memandikan jenazah hingga menguburkannya. Tetapi, apa yang dilakukan sedikit tidak umum. Maksudnya, kegiatan komunitas itu hanyalah memandikan orang yang meninggal tertentu saja. Contoh, orang gila yang mati di pinggir jalan, mayat yang ditemukan tanpa identitas, orang yang wafat di panti jompo, orang-orang yang tak diketahui sanak-familinya dan sebagainya.

Gaji pengurus orang mati tentu saja tak sebanyak pegawai negeri. Komunitas Kris di bawah bayang-bayang pemerintah, tetapi pihak pemerintah sendiri hanya sanggup menggaji mereka dengan gaji yang minim, bahkan, ada yang mengaku gaji itu terlalu minim untuk seorang pengurus jenazah, apalagi bila mengingat saat bertugas, terkadang mengurusi mayat yang kondisinya sangat menjijikkan. Namun, jika sedang beruntung, mereka bisa mendapat uang tambahan dari orang yang iba kepada mereka, meski hanya sedikit jumlahnya.

Fatimah tahu, pekerjaan Kris tidak hina, bahkan bila yang memandang adalah orang beriman, pekerjaan itu sangat mulia. Tetapi, keluarganya tidak bisa menerima, bagi mereka yang terpenting bukan soal mulia tidaknya sebuah pekerjaan, namun seberapa menghasilkan (uang) sebuah pekerjaan sebab kehidupan rumah tangga bermuara pada tanggung jawab, apalagi saat sudah hadir buah hati, tentu tanggung jawab akan semakin berat, kebutuhan semakin meningkat.

Uang sangat penting dalam kehidupan rumah tangga. Keluarga Fatimah adalah keluarga yang kaya. Namun, mereka tidak mendidik Fatimah secara manja.

Bisa saja setelah menikah Fatimah masih bergantung pada kekayaan orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tetapi, apakah demikian? Dan, orang tua Fatimah tak pernah mengharapkan itu.

Orang tua Fatimah ingin kehidupan rumah tangga Fatimah bersama suaminya berjalan secara mandiri, artinya dalam memenuhi segala kebutuhan sehari-hari tak mengandalkan siapa pun. Fatimah sendiri sesungguhnya sudah mengatakan pada orang tuanya, bahwa ia akan mengandalkan kesarjanaan akuntansinya untuk mencari pekerjaan.

Fatimah tergolong orang yang cerdas dan pandai berbicara, ia yakin dengan kemampuannya akan terlampau mudah untuk mencari pekerjaan. Dan, ia yakin bila bekerja, kehidupan sehari-hari akan tercukupi.

“Tapi, bagaimana jika kau sudah mempunyai anak?” tanya Ayahnya. “Apa kau masih tetap akan bekerja? Ayah tidak mau, anakmu kelak kurang kasih sayang hanya gara-gara kau terlalu sibuk bekerja.”

“Dengarkan ayah, Fatimah. Dalam berumah tangga, yang diwajibkan mencari nafkah itu laki-laki. Bukan pihak perempuan. Tugas perempuan sejatinya mengurusi rumah.”

“Ayah?”

“Pokoknya ayah tidak mau melihat kau susah hanya karena gaji suamimu yang pas-pasan. Ayah tidak mau melihatmu menderita maka carilah laki-laki yang mempunyai pekerjaan yang jelas dan pasti.”

“Apakah pekerjaan Kris tidak jelas?”

“Bukan begitu. Sekarang berapa gaji Kris sebagai pengurus jenazah?” tanya Ayah Fatimah dengan raut muka seperti orang yang menantang taruhan.

“Jika kau tetap keras kepala, ayah akan merestui kau dengan Kris, tetapi dengan satu syarat, suruh ia ganti pekerjaan yang jelas dan pasti.”

Sementara Kris sendiri dilema. Antara memilih Fatimah dan mencari pekerjaan lain atau tetap bertahan dengan pekerjaannya dengan konsekuensi hubungannya dengan Fatimah berakhir. Ia menjadi ingat dengan kata-kata Ustaz Karim saat ia masih belajar di pondok pesantren, saat usianya masih dua belas tahun.

“Sesungguhnya menolong sesama termasuk dalam ibadah.”

Meski Kris tahu, apa yang dilakukan adalah ibadah, ia tak pernah menganggap hal itu sebagai ibadah. Sebagai orang yang beriman, agaknya harus seperti itu, biarlah Tuhan yang menilai perbuatan yang manusia lakukan. Manusia sangat tak pantas menghakimi dirinya sendiri sudah melakukan kebaikan.

“Tetapi, apa iya, aku harus berhenti hanya demi seorang gadis?” tanya Kris, pertanyaan yang ia lontarkan ia tujukan pada dirinya sendiri. Ia kini sedang berada di teras rumah.

“Tidak. Aku tidak akan berhenti. Aku takut bila lebih condong pada Fatimah, aku tak lagi sebahagia saat mengurusi orang mati. Bagiku mengurusi orang mati adalah sebuah kebahagiaan tersendiri. Tidak. Aku tidak akan berhenti,” kata Kris beberapa saat kemudian, setelah ia merenung.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement