Selasa 05 Mar 2019 12:48 WIB

Kematian Sarkam

Tidak mungkin Sarkam mampu mereguk kematian indah

Kematian Sarkam
Foto:

Alhasil, banyak orang berburu informasi tentang kehidupan Sarkam. Dalam hati, mereka ingin mati seperti Sarkam. Mereka yakin, pasti ada yang tersembunyi atau bahkan disembunyikan Sarkam. Tapi, banyak dari mereka yang kemudian kecewa sebab hidup Sarkam ternyata biasa-biasa saja.

"Kalau kalian sudah mendengar perilaku Kang Sarkam, yah memang seperti itu. Sama sekali tak ada yang istimewa dengannya," kata Yu Nirin, istri Sarkam.

Jamil, anak sulung Sarkam yang ogah meneruskan pekerjaan bapaknya sebagai sopir truk juga tidak banyak bicara, "Tak ada yang aneh pada Bapak. Tapi, kalau orang bilang Bapak meninggal bagus banget, ya kami bersyukur."

Cerita yang tidak jauh berbeda di peroleh dari Kasbi, sahabat Sarkam sedari kecil. Kata Kasbi, Sarkam itu sama seperti kita. Bandel, nakal, tapi menurutku wajar.

Mana ada sih orang yang tidak pernah bandel dan nakal. Sarkam juga tidak punya amalan apa-apa.

Orang-orang jadi bingung. Kalau Sarkam sama dengan orang-orang, bagaimana mungkin Tuhan memberikan anu gerah yang sedemikian hebat di akhir hidupnya? Adakah yang salah dengan kematian Sarkam? Atau, jangan-jangan, justru orang-oranglah yang keliru memahami arti kematian yang indah. Dalam bingung, orang-orang menemui Kiai Suleman.

"Sarkam berhak mati seperti itu," kata Kiai Suleman tegas, tanpa ragu.

"Bukankah kematian yang indah hanya untuk orang-orang yang istimewa seperti yang Kiai ajarkan?" Orang-orang menggugat.

"Lho, apa Sarkam bukan orang yang istimewa?" tanya Kiai Suleman serius.

Orang-orang saling berpandangan. Bingung.

"Kalaupun Sarkam bukan orang yang istimewa, apa Tuhan tak boleh menakdirkan Sarkam mati di masjid, saat hendak shalat, dan pas hari Jumat?"

Orang-orang tak bisa menjawab. Kiai Suleman menyunggingkan senyum. Orang-orang kemudian manggut-manggut, entah paham, entah tidak. Kiai Suleman tak peduli, bahkan saat mereka pergi. Namun, benak Kiai Suleman seketika melayang ke peristiwa beberapa bulan yang lalu, malam sebelum Sarkam meninggal dunia. Saat itu, Sarkam tergopoh-gopoh menemui dirinya.

"Kiai, dalam sebulan ini, hampir setiap malam saya bermimpi. Saya mimpi mati. Saya meninggalkan tubuh saya dan saya melihat orang-orang menangis," cerita Sarkam.

"Terus?"

"Saya belum ingin mati, Kiai...."

Tanpa kehendak bercanda, Kiai Suleman bertanya. "Tapi, kalau kamu tiba-tiba mati, bagaimana?"

Sarkam disergap bingung. Wajahnya agak sulit terbaca. Tapi, mulutnya kemudian membuka. "Ya, kalau benar mati, saya ingin mati yang biasa-biasa saja," Kiai.

"Mati yang biasa itu seperti apa?"

"Ya, pokoknya matinya jangan sampai mengerikan, merepotkan, apalagi sampai memalukan anak-istri dan keluarga saya."

Kiai Suleman terdiam. Kiai Suleman tidak percaya Sarkam ingin mati seperti itu.

"Bisakah?!"

Ah, Kiai Suleman ragu. Amat ragu. Apalagi, ketika Sarkam bercerita panjang lebar tentang dosa-dosanya selama ini, tanpa rasa malu. Kiai Suleman bergidik.

"Cukup! Cukup! Jangan diteruskan ceritamu!"

"Tapi, saya sudah tobat...."

"Pulanglah!" Kiai Suleman tidak mau lagi mendengar cerita Sarkam. Seperti ada batu di hati.

Namun, inilah yang di kemudian hari Kiai Suleman sesali. Bila saja ia lebih sabar, jika saja ia lebih mau mendengar Sarkam berkisah, tentu Kiai Suleman akan tahu bagaimana Sarkam bertobat sehingga ia bisa menjemput kematian dengan indah. Bukankah seorang kiai boleh belajar kepada orang-orang seperti Sarkam?

-- Taman Pagelaran, 12/2018 19

TENTANG PENULIS

SIGIT WIDIANTORO menulis cerpen dan esai di media massa. Tinggal di Bogor.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement