Ahad 27 Jan 2019 17:23 WIB

Mata Merindu

Sorot mata Fajar dan Ziza adalah mata yang saling merindu.

Mata Merindu
Foto:

Aku menatap Ziza. "Ziza," panggilku lembut.

"Ya, Ustaz."

"Afwan, bolehkah saya meminta kamu memanggil saya, Kak Fajar?"

"Iyyyyaaa, Kak."

Aku menggenggam tangan Khalid. "Ziza, di hadapanmu ini ada seorang duda beranak satu. Dia bukan orang kaya. Dia hanya orang biasa. Tapi dia punya cita-cita besar membina keluarga yang takwa, mencetak para penghafal Alquran dan imam besar Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan masjid-masjid raya di berbagai belahan dunia. Maukah engkau mendampingi dan menemaninya mewujudkan cita-citanya itu?"

"Saya bersedia, Kak. Terima kasih Kak Fajar memilih saya untuk menjadi ibu bagi generasi Muslim yang hebat itu. Maafkan saya, saya mungkin tidak sebaik Teh Rindu," tuturnya lembut.

"Saya yang berterima kasih kepadamu, Ziza. Engkau mau menerima saya apa adanya. Semoga Allah selalu memuliakan Ziza di dunia dan akhirat."

Ziza dan Khalid asyik melihat-lihat dan memilih buku bacaan di tempat pameran buku. Aku menarik Mansur ke tempat pameran pedang Rasulullah yang berada di sebelah tempat pameran buku.

"Mengapa akhirnya engkau memutuskan untuk menjodohkan aku dengan Ziza?"

"Aku melihat mata Kang Fajar dan mata Ziza."

"Ada apa dengan mata kami?"

Setiap kali aku melihat Kang Fajar berbicara dengan Ziza, aku melihat mata Akang selalu gelisah. Begitu pula mata Ziza selalu gelisah. Akang dan Ziza kalau bicara hanya satu atau dua kalimat, namun aku menangkap bahasa tubuh dan sorot mata kalian berdua.

"Terus?" Aku jadi penasaran.

"Mata itu adalah mata yang merindu. Akang dan Ziza sesungguhnya saling mencintai, meskipun Akang tak pernah berterus terang kepada Ziza maupun sebaliknya. Tapi sorot mata Akang dan Ziza sudah lebih dari cukup bagi saya untuk mengerti bahwa kalian saling mencintai."

"Sok tahu kamu akh," kataku pura-pura kesal.

"Aku kan novelis, Kang. Aku paham banget bahasa tubuh dan sorot mata seseorang."

"Terus terang, aku ingin jawaban yang jujur, apakah kamu sama sekali memang tidak berminat kepada Ziza?"

"Tentu saja aku sangat ingin punya istri seperti Ziza. Laki-laki mana yang menolak mendapatkan jodoh wanita yang salehah, cantik dan lembut seperti Ziza? Tapi aku merasa sangat berdosa kalau aku mengkhitbah Ziza, sedangkan batinku mengatakan bahwa Akang dan Ziza saling mencintai? Biarlah untukku, Allah pasti sudah menyiapkan jodoh yang lain, yang semoga salehah juga seperti Ziza."

Lombok, Ramadhan 1438 H.

TENTANG PENULIS:

Irwan Kelana; cerpenis, novelis, dan wartawan Republika.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement