Kamis 24 Jan 2019 15:44 WIB
Lipsus Jenderal Soedirman

Menjadi Guru dan Penikmat Kajian

Soedirman dikenal sebagai guru yang pandai mengajar.

Jenderal Soedirman
Jenderal Soedirman

Pada 1934 Soedirman lulus dari MULO Wiworotomo. Ada lowongan untuk mengajar di HIS Muhammadiyah. Namun, muncul masalah: Soedirman tak punya ijazah mengajar.

Memang ada versi yang menyebutkan Soedirman sempat bersekolah di sekolah guru di Solo, tetapi tidak lulus karena masalah biaya pendidikan. Untuk menyiasati hal ini, Soedirman menerima jenjangnya nanti hanya sekadar guru biasa. Ia kemudian menemui guru-guru senior HIS Muhammadiyah untuk menimba ilmu mengajar. Dari sini ihwal mengajar Soedirman bermula.

Keputusan Soedirman terjun ke dunia pendidikan terbukti tepat. Ia guru yang asyik. Gaya ajarnya tak monoton dan diselingi kisah keislaman dan pewayangan. Honor awalnya sebagai guru biasa saat itu amat kecil, sehingga tak mencukupi untuk hidup sebulan apalagi ia sudah berkeluarga. Namun, Soedirman berlaku ikhlas. Kebetulan juga ia menjadi pengurus koperasi di Cilacap untuk bisa menambah penghasilan.

Sardiman, dalam bukunya, "Panglima Besar Jenderal Sudirman Kader Muhammadiyah" (2000) mengutip kesaksian Marsidik (72 tahun saat diwawancara), salah satu eks murid Soedirman pada 1934-1937. Marsidik memaparkan, Soedirman menjadi guru di kelas yang berisi murid sebanyak 30-an anak. Satu kelas dipisahkan kain tipis antara murid laki-laki dan perempuan.

"Pak Dirman bukan guru yang menonjol ilmu pengetahuannya, tetapi ia pandai mengajar. Sehingga penyampaian materinya tidak kering atau tegang. Beliau kerap berguyon ringan, mengajarkan nilai agama dan nasionalisme. Kami sangat senang mengikuti pelajarannya," demikian kata Marsidik.

Apakah Soedirman guru yang galak?

"Pak Dirman tidak pernah galak atau keras kepada siswanya sehingga mereka senang. Wajahnya menyenangkan. Tidak seram. Bibirnya yang tebal dan merah serta lagaknya yang lincah selalu membuat kami tertawa apabila ia bergurau," ujar Marsidik menjawab.

Soedirman juga pintar membina relasi dengan sesama rekan pengajar. Sampai akhirnya dalam satu pemilihan kepala sekolah, Soedirman yang tanpa ijazah guru resmi itu malah terpilih menjadi kepala HIS Muhammadiyah Cilacap. Namun, oleh Belanda HIS Muhammadiyah Cilacap kemudian ditutup.

Belanda beralasan, membutuhkan bangunan gedung sekolah tersebut untuk diubah menjadi pos pengawasan Belanda pada tahun-tahun akhir Perang Dunia II, sesaat sebelum Jepang masuk. Setelah Belanda takluk dan Cilacap dikuasai Jepang, HIS Muhammadiyah tak kunjung dibuka. Soedirman yang sudah dianggap tokoh masyarakat Cilacap mulai didekati tentara Jepang. Jepang membutuhkan pesona Soedirman untuk meraih dukungan warga.

Dalam periode menjadi guru dan kepala sekolah ini, Soedirman juga mengembangkan potensinya di bidang dakwah dan pengajian. Majalah Pusat Sejarah TNI Senakatha edisi 100 Tahun Soedirman (2016) memaparkan Soedirman dewasa sangat aktif dalam bidang keagamaan. Ia mengikuti pengajian dan tabligh di sekitar Banyumas, meskipun untuk itu ia harus berjalan kaki berkilo-kilometer.

"Dalam ceramahnya Soedirman menekankan tentang tauhid, pentingnya hidup berpegang pada agama, nasionalisme, perjuangan mencapai kemerdekaan," demikian dikutip dari Senakatha.

Disebutkan pula, safari dakwah Soedirman kian luas. Selain Cilacap dan Banyumas, Soedirman juga biasa diajak berdakwah ke Serayu, Majenang, Wanareja, perbatasan Brebes. Sementara di kotanya, pusat dakwah Soedirman dipusatkan pada sebuah masjid kecil di Kampung Rambutan, Cilacap.

Salah satu saksi dakwah Soedirman adalah Roedhiyanto. Ia mengatakan, Soedirman banyak belajar dakwah dari R Moh Kholil. Kholil adalah salah satu tokoh perintis yang membawa Muhammadiyah ke Cilacap. Hubungan keduanya, kata dia, layaknya bapak dan anak. "Mereka memiliki kesamaan ide dan pandangan. Sehingga dalam menentukan keputusan dan melakukan tindakan, Pak Dirman masih selalu datang kepada Bapak (Kholil), bahkan hingga masa revolusi fisik," kata Roedhiyanto yang tak lain adalah putra Moh Kholil.

Guru dakwah Soedirman yang lain adalah KH Markhum yang saat itu menjabat sebagai imam besar Masjid Cilacap. KH Markhum diketahui pernah menjadi santri di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.

ed: Stevy Maradona

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement