Rabu 16 Jan 2019 00:01 WIB

Aksi Malari Meninggalkan Teka-teki

Penguasa menganggap sinyalemen mahasiswa soal perekonomian hanya pendapat anak kecil.

Rep: Umi Nur Fadilah/ Red: Karta Raharja Ucu
Peristiwa Lima Belas Januari (Malari) di Jakarta
Foto:
Hariman Siregar

Wartawan Republika, Muhammad Subarkah dalam artikel Dari Malari hingga Erucakra Diponegoro menulis, aksi mahasiswa yang berubah menjadi kerusuhan membuat asap mengepul di hampir sebagian kota, mulai dari kawasan Roxy, Cempaka Putih, Bypass, Glodok, hingga Jalan Sudirman, dan Matraman. Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal Maraden Panggabean melaporkan sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor rusak atau dibakar, 144 gedung rusak atau terbakar, dan 160 kilogram emas hilang dari sejumlah toko perhiasan. Dalam kerusuhan itu, jatuh 11 korban meninggal, 177 mengalami luka berat, 120 mengalami luka ringan, dan 775 orang ditangkap.

Hariman menyayangkan ada satu mahasiswa yang tertembak saat kerusuhan terjadi. Korban jiwa dari mahasiswa tersebut memang tinggal di kawasan Senen.

“(Puncaknya saat Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka) Tanaka datang, dibakar semua tempat maksiat, orang dari dulu benci dengan pembangunan yang atau nggak kerakyatan. Ini akan terjadi lagi,” ujar Hariman.

Menurut Hariman harus ada yang diubah, terutama dari sisi pemihakkannya. Dana harus dialirkan pada rakyat kecil. Dia beranggapan, tidak ada yang bisa dibanggakan jika pertumbuhan ekonomi tidak berdampak pada kualitas rakyat.

Adi Suryadi Culla dalam buku Patah Tumbuh Hilang Berganti: Sketsa Pergolakan Mahasiswa dalam Politik dan Sejarah Indonesia (1908-1998) menuliskan, aksi mahasiswa dalam peristiwa Malari meninggalkan banyak teka-teki. Muncul tudingan, gerakan itu tidak murni dan ditunggangi pihak tertentu.

Wiwoho dan Banjar dalam buku Memori Jenderal Yoga menuliskan Jenderal Yoga Sugama selaku Kepala BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen) menuduh salah satu kelompok mencoba mengambil manfaat dari gerakan mahasiswa itu. Kelompok yang dimaksud adalah bekas simpatisan Partai Sosialis Indonesia (PSI), yang tidak sesuai prinsip perjuangan.

Heru Cahyanto dalam Pangkopkamtib Jenderal Seomitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 menulis, Jenderal Yoga menuduh kelompok itu menggunakan strategi jangka panjang, menggalang potensi masyarakat, dan kampus sebagai pijakan menggalang kelompok berpotensi di masyarakat. Namun, Hariman membantah tudingan aksi mahasiswa itu ditunggangi kelompok tertentu. “Nggaklah. Kalau ada aksi jangan main tuduh,” kata dia.

Setelah 45 tahun berlalu, Hariman berharap generasi muda lebih memahami masalah bangsa ini. Menurut dia, generasi muda jangan hanya fokus mencari nafkah yang tidak bisa membuat mereka menjadi pemodal.

“Jangan cari makan saja, modal yang kalian dapat nggak akan bisa menjadikan kalian kapitalis,” ujar Hariman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement