Selasa 04 Dec 2018 20:38 WIB

Honorer K2 Desak PP 49/2018 Tentang Manajemen PPPK Dicabut

FHK2 PGRI juga telah menggugat PP Nomor 49 Tahun 2018 ke Mahkamah agung

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Esthi Maharani
Massa honorer K2 se-Indonesia berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (30/10/2018).
Foto: Antara/Reno Esnir
Massa honorer K2 se-Indonesia berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (30/10/2018).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Forum Honorer Kategori Dua Persatuan Guru Republik Indonesia (FHK2-PGRI) mendesak agar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang manajamen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang baru diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo dicabut. FHK2 PGRI juga telah menggugat PP Nomor 49 Tahun 2018 ke Mahkamah agung (MA).

Pengurus Pusat FHK2-PGRI Riyanto Agung Subekti menegaskan, PP 49/2018 tentang Manajemen PPPK ini bertentangan dengan azas kepastian hukum dan rasa keadilan, sehingga PP ini secara tegas ditolak Forum Honorer K2. "Kami sudah mendapatkan salinannya, dan ada beberapa catatan untuk PP 49/2018. Misalnya, PP ini memiliki tenggang waktu pelaksanaan 2 tahun sejak penetapannya jadi PP ini pun tidak bisa dilaksanakan karena harus menunggu 2 tahun. Seleksi PPPK juga dilakukan sebagaimana seleksi pegawai baru, tidak perhatikan masa kerja sebelumnya," kata Riyanto kepada Republika.co.id, Selasa (4/12).

Dia melanjutkan, penerapan masa kontrak bagi PPPK juga dinilai bertentangan dengan Undang-undang (UU) Perburuhan. Karena masa kontrak kerja hanya maksimal 2 kali satu tahun sebelum diangkat sebagai Pegawai Tetap, sedangkan masa kontrak PPPK adalah minimal satu tahun atau maksimal lima tahun untuk satu periode kontrak.

"Peraturan pemerintah yang membuat resah, honorer galau nasibnya semakin susah," jelas dia.

Sementara itu kuasa hukum FHK2 PGRI, Andi M. Asrun menjelaskan guru honorer merasa kecewa karena Presiden Jokowi tidak menerbitkan PP untuk secara khusus mengatur Guru Tidak Tetap (GTT) dan Tenaga Kependidikan Honorer. Melainkan PP ini hanya untuk umumnya calon pegawai honorer. Dalam  PP 49/2018 juga tidak ada ukuran batasan seleksi bagi jabatan untuk guru.

Pada pasal 10 disebutkan pengadaan PPPK akan dilakukan secara nasional. Hal itu dinilai bertolak belakang dan tidak efektif karena sesungguhnya peta kebutuhan tenaga guru dan kependidikan sudah jelas tingkat kebutuhannya, termasuk soal jumlah kebutuhan dan wilayah tempatnya.

"Pada pasal 16 juga disebutkan bahwa pembatasan usia maksimal 1 tahun sebelum batas usia jabatan, itu tidak rasional. Karena proses seleksi sampai waktu pengumuman memakan waktu yang pada akhirnya masa kerja Calon PPPK batas waktu satu tahun tidak mungkin melaksanakan pekerjaannya sampai batas usia pensiun nya," jelas dia.

Menurut Andi ada beberapa pasal dalam PP 49/2018 yang tidak memberi kepastian hukum bagi PPPK. Misalnya, dalam pasal 37 tentang masa kerja tidak dijelaskan berapa kali perpanjangan masa kerja PPPK. Lalu dalam pasal 57 pemutusan hubungan kerja bisa terjadi akibat perampingan organisasi bagi profesi pendidik atau tenaga kependidikan, hal itu sama sekali tidak memberikan kepastian hukum bagi PPPK.

"Terus bagaimana melaksanakan Pasal 60 terkait penilaian kinerja guru, karena Kepala Sekolah lah yang bisa menilai kinerja guru dan tenaga kependidikan, sehingga PP ini menimbulkan ketidakpastian hukum," jelas dia.

Pada Sabtu (1/12) dalam Puncak Peringatan Hari Guru Nasional dan HUT ke-73 PGRI di Stadion Pakansari, Kabupaten Bogor, Presiden RI Joko Widodo mengumumkan bahwa pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK. Pengangkatan PPPK, kata dia, menjadi peluang bagi para guru honorer yang berusia di atas 35 tahun untuk mendapatkan kesejahteraan layaknya guru PNS.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement