Rabu 28 Nov 2018 02:50 WIB

Batavia Pernah Dijuluki Kuburan Belanda, Mengapa?

Akibat sampah Sementara lebih dari 160 ribu penduduk mengungsi ke pinggir kota.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Nashih Nashrullah
Gemeente Batavia (Gedung Balai Kota DKI Jakarta) di Koningsplein Zuid (sekarang Jalan Medan Merdeka Selatan No 9).
Foto: IST
Gemeente Batavia (Gedung Balai Kota DKI Jakarta) di Koningsplein Zuid (sekarang Jalan Medan Merdeka Selatan No 9).

REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa waktu lalu, seekor paus sperma ditemukan mati di perairan pulau Kapota, Wakatobi. Diduga paus itu mati karena banyak memakan sampah. Sebab dari identifikasi, terdapat 5,9 kilogram sampah di perutnya. Mulai dari sampah plastik, serpihan kayu, sandal, tali raffia, hingga karung nilon. 

Ya, sampah bisa jadi malapetaka. Kita juga masih ingat bencana di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah bandung 2005 lalu. Gunungan sampah setinggi 60 meter longsor dan menghantam dua kampung yakni Cilimus dan Pojok. Sekitar 157 orang meninggal dalam bencana itu. Sampah menjadi bencana bukan belakangan ini saja. 

Gara-gara sampah, Jakarta tempo dulu saat masih bernama Batavia jadi tak mempesona. Pada abad ke-18, kota ini begitu kumuh dan kotor. Kanal-kanal tak berfungsi normal sebab penuh dengan limbah sampah hingga memunculkan bau busuk yang menyengat dan menimbulkan berbagai penyakit. 

Bernard Dorleans dalam buku Orang Indonesia dan Orang Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX menuliskan kondisi Batavia yang saat itu memprihatinkan. Orang-orang yang berada di Batavia tak hanya disuguhi bau busuk sampah yang menyengat setiap hari, namun juga dihantui dengan penyakit seperti disentri dan demam berdarah. 

Lingkungan yang tak sehat membuat Batavia dijuluki Het Graf Des Hollander atau 'kuburan orang belanda'. Karena sudah tak layak huni, banyak warganya yang memutuskan untuk berpindah ke pinggir-pinggir kota. 

Misalnya di kota lama, penduduknya semakin berkurang. Pada 1779 penduduknya hanya sekitar 12 ribu orang. Sementara lebih dari 160 ribu penduduk mengungsi ke pinggir kota Batavia. 

“Pada musim hujan, keadaanya tidak lebih baik. Sebagian besar penampungan air meluap dan membanjiri wilayah rendah di kota ini sampai ke lantai dasar sejumlah tempat tinggal. Ketika air surut, banjir meninggalkan tumpukan sampah dan debu,” tulis Bernard. 

Restu Gunawan dalam buku Gagalnya Sistem Kanal Pengendalian Banjir Jakarta Dari Masa ke Masa juga menuliskan tetang kondisi Batavia di abad-18. Saat itu, di Batavia belum mengenal sistem kakus atau kamar mandi. Sehingga kotoran-kotoran manusia di Batavia ditampung pada tempat tertentu dan setelah malam hari kotoran dibuang ke kali atau kanal.

Kotoran manusia, sampah, dan limbah pembangunan menggumuk menjadi satu di kanal yang membuat air pun tak bisa mengalir, terlebih karena terjadinya pendangkalan sungai. Hingga kemudian pemerintah Belanda memindahkan pusat pemerintahan ke selatan kota lama. Sebab kota lama semakin kumuh, kotor, menjadi sarang penyakit yang menghantui orang-orang Belanda. Setelah itu, berbagai kebijakan pun diterapkan untuk membuat lingkungan Batavia menjadi bersih dan bebas dari sampah. 

Mulai dengan menyediakan lubang-lubang sampah di pemukiman-pemukiman warga hingga melarang warga membuang sampah di kanal. Batavia pun berangsur-angsur membaik.

Abah Alwi atau Alwi Shahab dalam buku Sudagar Baghdad dari Betawi menuliskan pada 1921 telah ada 15 unit mobil pengangkut sampah di Batawia. Selain beroperasi di pusat kota, mobil sampah itu juga mengangkut sampah ke perkampungan-perkampungan yang akses jalannya bisa dilalui. 

Sedangkan perkampungan yang tak bisa dijangkau mobil pengangkut sampah, digunakan gerobak. Tak hanya mobil sampah, di dalam kota, armada sampah juga dibantu dengan perahu-perahu. 

“Para ibu di kampung-kampung hampir tidak ada yang membuang sampah di sungai, dengan dibantu anak gadisnya tiap pagi dan sore mereka menyapu pelataran rumah. Sampah-sampah itu kemudian dibakar sebelum dimusnahkan ke tempat sampah yang tersedia di tiap rumah,” tulis Abah Alwi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement