Senin 19 Nov 2018 09:20 WIB

Siti Walidah, Perempuan di Balik Kesuksesan KH Ahmad Dahlan

Nyai Dahlan mendirikan Aisyiyah, organisasi otonom untuk Muslimah Muhammadiyah

Rep: Andrian Saputra/ Red: Karta Raharja Ucu
Siti Walidah Dahlan.
Foto: Lensaindonesia.com
Siti Walidah Dahlan.

REPUBLIKA.CO.ID, Selain Kiai Ahmad Dahlan, Kiai Fakhruddin, Muhammad Sudjak, Ki Bagus Hadikusuma dan Kiai Zaini, ada sosok perempuan yang menjadi tokoh lahirnya organisasi keagamaan, Muhammadiyah. Dia adalah Siti Walidah, istri Kiai Ahmad Dahlan. Karena itu akrab disebut Nyai Ahmad Dahlan.

Siti Walidah lahir di Kauman, Yogyakarta pada 3 Januari 1872. Peran Siti Walidah mengembangkan dakwah Muhammadiyah khususnya Aisyiyah begitu besar. Terlebih setelah suaminya meninggal.

Nyai Dahlan menjadi penyambung semangat dan gagasan dari Kiai Dahlan kepada generasi penerus, khususnya perempuan melalui Sopo Tresno, cikal bakal Aisyiyah. Organisasi otonom bagi wanita Muhammadiyah yang didirikan pada 19 Mei 1917.

“Nyai Dahlan menjadi rujukan para tokoh dan kader Muhammadiyah yang ingin menyelami, mendalami, dan mengamalkan warisan pemikiran serta karya Kiai Dahlan,” tulis Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam Muhammadiyah Gerakan Pembaruan.

photo
Siti Walidah Dahlan (kanan) dan KH Ahmad Dahlan (kiri).

Di kemudian hari, Siti Walidah memulai kepeloporanya dengan mendirikan pondok untuk anak-anak perempuan. Terutama yang belajar di mualimat untuk calon guru agama. Siti Walidah secara langsung memberikan pelajaran ilmu agama, ilmu umum dan baca tulis. Asrama untuk para perempuan yang belajar pun menyatu dengan rumah kediaman Siti Walidah.

Kendati demikian, upaya mendorong anak-anak perempuan mempunyai pengetahun pun memperoleh tantangan utamanya dari masyarat Kauman. Sebab masyarakat masih sulit menerima gagasan bahwa anak perempuan harus belajar baca tulis dengan meninggalkan rumah sendiri.

Peristiwa menarik terjadi pada saat Kongres Muhammadiyah ke-15 tahun 1926 di Surabaya. Kala itu peserta kongres tercengang ketika mengetahui kongres tersebut dipimpin seorang perempuan yang tak lain adalah Siti Walidah. Sebab pada masa itu, belum pernah ada perempuan yang berani memimpin kongres.

“Betapa mencengangkan orang banyak yang menghadiri Kongres (Mu’tamar) Muhammadiyah ke 15 di Surabaya, kota kebangsaan Indonesia pada 1926 dengan munculnya seorang wanita yang sudah setengah tua, dapat memimpin kongres itu,” tulis Haedar mengutip Junus Anis tentang peristiwa langka di awal abad ke-20.

Semua pandangan peserta kongres termasuk pewarta di Surabaya tertuju kepada Siti Walidah. Tak terkecuali pewarta dari negeri Cina yakni surat kabar Sin Tit Po yang kemudian memuat tulisan tentang kongers tersebut. Sin Tit Po juga menuliskan tentang Siti Walidah sebagai sosok perempuan yang berani memimpin kongres saat itu.

Di penghujung hayatnya, Siti Walidah memberikan nasihat kepada para elit pimpinan Muhammadiyah kala itu. Siti Walidah, menitipkan Muhammadiyah dan Aisyiah. Itu disampaikan Siti Walidah ketika para konsulat Muhammadiyah menjenguk ke rumahnya yang sedang dalam keadaan sakit.

Dalam pesannya itu, Siti Walidah mengajak untuk bersyukir kepada Allah menyusul kemerdekaan yang berhasil diraih Indonesia. Ia juga mengajak umat Islam terus berjuang mencapai baldatun thayibatun wa rabbun ghafur. Ia pun meminta kader-kader Muhammadiyah untuk menghidupkan terus Muhammadiyah.

“Mari kita hidup suburkan Muhammadiyah, yang akan mengisi wadah negara kita yang telah merdeka itu, yang akan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat,” kata Siti Walidah. Siti Walidah wafat pada 31 Mei 1946 dan dimakamkan di belakang Masjid Besar Kauman Yogyakarta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement