Rabu 07 May 2014 08:57 WIB

Kemarahan Sosial di Brasil Berdampak Buruk Bagi Piala Dunia

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Didi Purwadi
Balon maskot Piala Dunia 2014, Fuleco, yang berada di pusat kota Sao Paulo.
Foto: AP/Andre Penner
Balon maskot Piala Dunia 2014, Fuleco, yang berada di pusat kota Sao Paulo.

REPUBLIKA.CO.ID, SAO PAULO -- Brasil akan meluncurkan extravaganza sepak bola Piala Dunia 2014 kurang dari sebulan lagi. Namun, sebaliknya banyak berita di dunia menunjukkan kemarahan sosial dan tingkat kekerasan di negara itu terjadi secara beruntun

Masyarakat Brasil banyak yang memberontak terhadap putusan pemerintah menjadikan negara tersebut sebagai tuan rumah perhelatan internasional tersebut. Artinya, banyak uang justru dihabiskan di luar kepentingan publik dan sosial.

Jutaan wisatawan, lokal dan asing akan mulai tiba. Mereka akan melihat pasukan keamanan bersenjata berat di Brasil.

Jajak pendapat menunjukkan bahwa 52 persen penduduk Brasil tidak senang dengan gelaran Piala Dunia 2014. Angkanya turun dari 79 persen jajak pendapat November tahun lalu.

"Rakyat Brasil benar-benar harus diberitahu bahwa mereka harus menunjukkan kesan baik akan negara mereka dan semangat mereka di dunia sepak bola. Jika mereka bisa menahan hal itu selama sebulan saja, maka itu akan berdampak baik untuk seluruh rakyat Brasil dan Planet Football," ujar Presiden UEFA, Michel Platini, dilansir dari Euronews, Rabu (7/5).

Kerusuhan di Brasil mulai memanas sejak tahun lalu. Inflasi Brasil masih berkisar 3,6 persen beberapa tahun lalu. Namun, setelah negara ini mengumumkan keputusannya menjadi tuan rumah Piala Dunia dan Olimpiade, angka inflasi langsung melonjak 6,5 persen pada 2013.

Untuk membeli iPhone misalnya, Anda akan membayar hampir 900 euro atau dua kali lipat dari harga iPhone jika Anda membelinya di Amerika Serikat. Harga bahan pokok, khususnya beras, sayuran, ayam melonjak 20-100 persen.

Brasil adalah negara dengan ekonomi terbesar ketujuh di dunia. Namun, hanya enam persen penduduknya yang tinggal di kota. Artinya sebagian besar penduduknya tinggal di tempat kumuh dan berstatus penduduk miskin.

Dengan tidak adanya pelayanan publik yang memadai, terutama kesehatan, pendidikan dan transportasi, maka pengeluaran pemerintah untuk fasilitas sepak bola berarti mengucilkan kehidupan sosial masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement