Jumat 15 Jun 2018 15:28 WIB

Aib di Gijon dan Mala Tim Afrika

Sepanjang perhelatan Piala Dunia, bukan jarang tim-tim Afrika menunjukkan potensi.

Pemain Uruguay, Luis Suarez (kiri) menghentikan bola dengan tangannya, membuat ia diganjar kartu merah dan kesempatan tendangan pinalti bagi Ghana, yang gagal dieksekusi oleh Asamoah Gyan.
Foto: AP Photo/Ivan Sekretarev
Pemain Uruguay, Luis Suarez (kiri) menghentikan bola dengan tangannya, membuat ia diganjar kartu merah dan kesempatan tendangan pinalti bagi Ghana, yang gagal dieksekusi oleh Asamoah Gyan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fitriyan Zamzami, wartawan Republika

Fuera… Fuera!!!”, ribuan penonton berteriak menyoraki para pemain pada pertandingan menentukan Piala Dunia 1982 di Spanyol. Mereka meminta pemain Jerman Barat maupun Austria yang bertanding pada 25 Juni 1982 di Stadion El Molinon, Gijon, segera keluar dari lapangan meski peluit akhir belum berbunyi.

Que se bessen… Que se bessen!!!” lanjut sorak-sorai para penonton terdengar jelas melalui rekaman pertandingan kala itu. Lagi-lagi dalam bahasa Spanyol, mereka meminta para pemain dari kedua sisi berciuman saja ketimbang bermain bola.

Komentator dari jerman Barat menolak mengomentari pertandingan tersebut. Komentator Inggris menyebut pertandingan itu “sampah”. Hingga saat ini, pertandingan yang dimenangkan Jerman Barat dengan skor 1-0 itu dikenal luas dengan nama Disgrace of Gijon alias Aib di Gijon. Apa hal?

Kala itu, di grup yang dihuni Jerman Barat dan Austria ada juga Aljazair dan Cile. Pada pertandingan perdana, Aljazair berhasil mengalahkan Jerman Barat dengan skor mengejutkan 2-1. Aljazair kemudian kalah dari Austria 0-2, namun kemudian membungkam Cile dengan skor 3-2. 

Aljazair adalah tim Afrika pertama yang mencatat rekor dua kali kemenangan di fase grup tersebut. Sayangnya, rekor itu mereka catatkan sehari sebelum pertandingan antara Austria dan Jerman Barat. Walhasil, banyak orang meyakini Jerman Barat dan Austria kemudian main mata untuk menyingkirkan Aljazair. 

Kolumnis ESPN, Raphael Honigstein mengenang, koran lokal Gijon, El Comercio menempatkan berita soal pertandingan itu di rubrik kriminal. FIFA mengubah peraturan bahwa pertandingan akhir fase grup harus serentak akibat insiden tersebut.

Tapi ini bukan soal Aljazair saja. Sepanjang perhelatan Piala Dunia, bukan jarang tim-tim Afrika menunjukkan potensi mereka. Kendati demikian, sejauh ini ada semacam kutukan yang menghinggapi petualangan mereka di Piala Dunia.

Pada Piala Dunia 1998 di Prancis, misalnya, Maroko juga punya kans kuat maju ke babak enam belas besar. Skuat yang dikomandoi Mustapha Hadji kala itu berhasil menahan Norwegia 2-2, kemudian kalah dari Brasil 0-3. Pada pertandingan terakhir, mereka mengandaskan Skotlandia 3-0. 

Pemain Maroko sudah bersorak menengok skor 1-0 untuk keunggulan Brasil melawan Norwegia di pertandingan sebelah. Namun di ujung pertandingan itu, dua gol disarangkan Norwegia, salah satunya hadiah penalti atas pelanggaran ringan pemain Brasil Junior Baiano pada menit ke-88.

Yang terjadi di Afrika Selatan pada 2010 tak kalah menyesakkan. Harapan satu benua kala itu tertumpu pada Ghana yang bersiap-siap jadi negara Afrika pertama yang bakal mencapai semifinal Piala Dunia. Namun, dunia akan selamanya mengingat keculasan Luis Suarez. Penyerang Barcelona menahan bola tendangan Dominic Adiyiah yang jelas melaju ke mulut gawang Uruguay dengan tangannya. Uruguay sanggup bertahan walau Suarez harus keluar lapangan. Laga akhirnya berujung adu penalti yang tak sanggup dimenangkan para pemain Ghana yang kadung patah hati sehubung hukuman penalti atas tindakan Suarez tak berbuah gol.

Tahun ini, Mesir, Maroko, Tunisia, Senegal, dan Nigeria yang jadi harapan Afrika. Mereka sedianya tak tergabung dalam grup yang terlampau berat. Belum lagi, tahun ini ada Mehdi Benatia dan Hakim Ziyech yang mentereng di Maroko. Ada Sadio Mane, Kalidou Koulibaly, dan Badou Ndiaye di Senegal. Sementara dunia juga menunggu aksi fenomenal Mohamed Salah bersama Mesir.

Kendati demikian, lolos dari fase grup saja tak cukup. Tim-tim Afrika telah melakukan hal itu sejak dimulai Maroko pada 1986. Untuk mencetak sejarah, mereka harus menghadapi tim-tim yang jauh lebih berkelas jika lolos ke enam belas besar. Selain itu, seantero Benua Hitam agaknya harus berdoa juga agar mala yang mendera tim-tim penuh talenta mereka selalu kandas sebelum mencapai semifinal tak lagi datang tahun ini. 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement