Selasa 06 Nov 2018 13:03 WIB

Nagari Tiku, Kampung di Sumatra yang Tersohor Hingga Eropa

Tiku terkenal karena menjadi gerbang masuk daerah penghasil rempah

Ngarai di Sumatra Barat. Ilustrasi
Foto: Antara/Iggoy el Fitra
Ngarai di Sumatra Barat. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Andrian Saputra

Selain Kota Barus dan Pariaman, ternyata ada wilayah lain di Sumatra yang begitu tersohor hingga ke benua Eropa, terutama sekitar abad 15-16 masehi setelah datangnya para pelayar dari Prancis. Tiku nama daerah itu.

Dulu namanya Nagari Tiku, kini wilayahnya berada di Kecamatan Tanjung Mutiara, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Tiku begitu terkenal lantaran menjadi gerbang masuk utama ke sejumlah daerah penghasil rempah-rempah. Begitu pun ketika masa kerajaan Pagaruyung, Tiku menjadi akses masuk para pedagang dari Gujarat dan Mesir.

Sebuah catatan dari pelayaran yang dilakukan Jean dan Raoul Parmentier, dua bersaudara asal Prancis yang melakukan pelayaran ke Sumatra pada 1529 menggambarkan secuil kehidupan tentang penduduk Tiku kala itu. Dua bersaudara itu tiba di Sumatra pada 2 Oktober 1529. Tiku satu dari beberapa wilayah yang mereka disinggahi.

Kedatangan Jean dan Raoul Permentier ke Sumatra semata-mata untuk mengangkut rempah-rempah, terutama merica yang menjadi komoditi paling berharga. Setibanya di Tiku, para pelaut Prancis itu disambut baik -tanpa ada pertempuran seperti saat kedatangan pelaut perancis lainnya, Pierre Caunay saat tiba di Aceh pada 1527-, mereka mengawali komunikasi dengan penduduk nigari Tiku dengan saling berbagi hadiah dan makan bersama.

Tiku juga digambarkan dengan penduduknya yang gemar mengunyah sirih hingga mengisap ganja. Tetapi, bagi para pelaut Perancis itu orang-orang Tiku termasuk rajanya sukar untuk diajak kompromi. Perundingan yang dilakukan para pelaut Prancis dengan raja setempat yang disebut bernama Meligica-Saga dan syahbandarnya tidak membuahkan hasil.

Meski menjadi gerbang masuk dan akses dalam perdagangan ke wilayah-wilayah di Sumatra, namun di mata pelaut Perancis kala itu, Tiku lebih cocok disebut sebagai desa nelayan miskin. Rumah masyarakat Tiku diceritakan terbuat dari bambu dan dilapisi rumput laut kering dengan atap dari daun kelapa. Rumah-rumah itu, di dalamnya terdapat peti kayu hingga mangkuk dari besi yang di simpan di atas rak batu bata. Meski ada beberapa rumah yang juga dilengkapi cerobong asap sederhana dari batu.

Penduduk Tiku juga digambarkan berkulit gelap, perawakannya tinggi dan ramping, dengan mimik wajah yang digambarkan mencemaskan. Bagi orang Prancis, logat bicara orang Tiku cenderung keras dan membuat tak nyaman didengar.

Penduduk Tiku tak memakai alas kaki. Pakaian yang dikenakan orang-orang Tiku terbuat dari kain katun sederhana. Dalam pandangan orang Prancis, penampilan penduduk Tiku tampak kotor.

“Kepala desa menyampirkan sarong di bahunya, memakai gelang emas yang berat dan membawa kris bertatahkan emas. Mereka mengenakan ikat kepala atau topi jerami sederhana,” dikutip dari tulisan Bernard Doerleans yang memuat catatan-catatan orang-orang Prancis yang datang ke Indonesia dalam bukunya berjudul Les Francais el l’Indonesie du XVIe au XXe siècle dan diterjemahkan berjudul Orang Indonesia dan Orang Perancis Dari Abad XVI sampai dengan abad XX.

Selain bersenjatakan keris, penduduk Tiku disebutkan mempunyai senjata lainya yakni berupa busur, panah, tombak dan sumpit panah beracun. Selain itu juga dilengkapi dengan tameng tebal dari kulit gajah dan kulit banteng dengan hiasan kulit ular dan ikan.

Hukum Di Tiku

Selain sebagai pintu masuk perdagangan, Tiku dalam pandangan orang-orang Prancis juga terkenal dengan keelokan perempuannya. Kendati demikian, para perempuan Tiku sangat menjaga kehormatannya. Hukum di Tiku dijunjung tinggi. Bahkan untuk kasus pasangan yang melakukan hubungan suami istiri di luar nikah terancam hukuman mati.

“Tapi para wanita Sumatra itu diwajibkan menjaga kesucian mereka. Pelacuran tidak dikenal di sini. Lelaki yang melakukan hubungan kelamin di luar nikah dijatuhi hukuman mati sedangkan wanitanya dijadikan budak. Selain itu mereka juga harus menjalani hukuman pendahuluan yang dapat berupa apa saja hingga penombakan,” lanjut dalam tulisan Bernard.

Orang-orang prancis pun menilai adanya hukuman semacam itu, membuata penduduk Tiku besikap jujur satu sama lainya. Kendati demikian dalam pandangan orang Prancis, penduduk Tiku terkadang licik terhadap orang asing.

Perempuan di Tiku bertanggung jawab atas berbagai macam pekerjaan termasuk bercocok tanam, sementara bertaruh adu ayam atau sabung ayam menjadi kebiasaan sebagian besar laki-laki di Tiku. Makanan penduduk Tiku tak lepas dari nasi dan ikan. Meski sesekali dalam perayaan terdapat daging ayam yang disajikan. Tiku juga kaya dengan berbagai buah-buahan serta aneka ragam satwanya.

Sementara itu setelah singgah di Tiku, para pelaut Prancis melanjutkan perjalannya ke selatan menuju Indrapura. Dari perjalanan ke Sumatra itu, para pelaut Prancis hanya berhasil mengangkut sedikit dagangan sekitar 30 baril merica.

Ket.gambar.

1. Pribumi dari pulau Sumatera bersenjatakan lembing atau tombak menurut Van Linshoten 1596 dalam gambar di  tulisan Bernard Doerleans yang memuat catatan-catatan orang-orang Perancis yang datang ke Indonesia dalam bukunya berjudul Les Francais el l’Indonesie du XVIe au XXe siècle dan diterjemahkan berjudul Orang Indonesia dan Orang Perancis Dari Abad XVI sampai dengan abad XX.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement