Jumat 02 Nov 2018 08:10 WIB

Roger Danuarta dan Jejak Muslim Tionghoa di Batavia

Salah satu perantau Cina ke Batavia yang sukses adalah seorang Muslim bernama Jan Con

Kawasan Pecinan di masa Hindia Belanda
Foto:
Roger Danuarta dibimbing Ustaz Insan Mokoginta mengucapkan dua kalimat syahadat.

Seperti perantau Tionghoa lainnya, Jan Con yang menjadi sekretaris kapiten Bencon, masih memegang teguh ikatan batin dengan Tong-soa sebutan kerinduan emigran Tionghoa terhadap negeri leluhurnya. Tidak heran, kalau kemudian ia terangkat menjadi seorang konglomerat banyak membantu kerabatnya di daratan Cina.

Namun, sebagai Muslim, ia juga banyak membantu kegiatan keagamaan. Setidak-tidaknya membangun masjid di Kampung Bebek, Angke, Jakarta Barat.

Ia dan orang-orang Tionghoa waktu itu tinggal di sekitar Jl Tiang Bendera, Glodok dewasa ini. Daerah yang kini menjadi pusat pertokoan dan perdagangan, kala itu sebuah perkampungan Tionghoa. Bahkan, di antara menantu kapiten Bencon terdapat seorang Muslim keturunan Tionghoa, bernama Eutje Moedin.

Ikatan Jan Con dengan tanah leluhurnya masih diperkokoh lagi oleh kenyataan bahwa ia adalah pemasok tenaga kerja dari daratan Cina ke Batavia. Mereka yang akan dipekerjakan sebagai kuli dan tenaga kasar didatangkan dengan jung-jung (kapal layar) dari Cina ke Batavia.

Leonard Blusse, dalam bukunya Persekutuan Aneh, menyebutkan, tenaga kerja dari Cina itu digunakan, untuk menambah kawanan budak yang dikerahkan VOC untuk menggali saluran dan membangun kubu-kubu pertahanan di Batavia. Ia juga mempekerjakan para kuli Tionghoa ini pada perusahaan penebangan kayu dan perkebunan gula.

Kala itu, di sekitar Jakarta memang banyak produksi kayu dan industri. Konon, hasil kayu jati dari Batavia sangat tersohor, yang kini dapat ditelusuri dengan adanya nama-nama tempat, seperti Jatiwaringan, Kramatjati, Jatibunder, dan masih banyak lagi.

Waktu itu, menurut Leonard Blusse, perdagangan kayu merupakan usaha yang sangat berbahaya. Karena, sering mendapat serangan dari gerilyawan Banten yang tidak pernah berhenti mengusik kompeni.

Berkat hubungan baiknya dengan VOC, jan Con dan Bencon mendapatkan kemudahan dalam berbagai jenis usaha, dan mendapat tugas memungut pajak pada warga Tionghoa. Ia juga diminta VOC untuk menjadi penengah dalam perundingan perdamaian dengan Kesultanan Banten. Hal ini makin memperkokoh kedudukannya di hadapan Hoge Regeening (Pemerintahan Agung, Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia).

Namun, ia tidak selalu beruntung dalam kehidupan pribadinya. Istrinya didapati bermain gelap dengan laki-laki Cina, hingga ia merasa kehilangan harga dirinya. “Peristiwa zinah istrinya itu diketahui oleh umum,” tulis Leonard Blusse.

Pada September 1639 ia meninggal dunia dalam keadaan melarat dan meninggalkan utang yang sangat besar. Menurut Mona, ia juga dituduh terlibat dalam membuat uang palsu kepeng uang logam dari timah yang berlaku saat itu.

Ambisinya untuk menggantikan Bencon menjadi kapiten Cina juga gagal karena VOC memilih saingannya, Lim Lico. Mona memperkirakan kegagalan ini, dimungkinkan karena agama.

Waktu itu, untuk kelompok Islam, sudah ada kapiten sendiri. Jadi, tidak mungkin ada dua kapiten beragama Islam. Mona Lahonda menafsirkan kisah Jan Con sebagai tragedi orang Cina yang bisa kaya, tapi juga bisa bangkrut.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement