Selasa 02 Oct 2018 01:37 WIB

Jakarta Mencekam Pasca-G30S/PKI

Pada awal Oktober 1965, aparat keamanan memberlakukan jam malam.

Pengkhianatan G30S/PKI
Foto: Republika/Mardiah
Pengkhianatan G30S/PKI

REPUBLIKA.CO.ID, Saya melihat situasi yang sepi sekali. Kalimat itu menjadi pembuka cerita bagaimana suasana Jakarta pascaperistiwa pemberontakan G30S/PKI. Alwi Shahab, wartawan senior Republika merawikan ulang mengisahkan ulang tragedi 30 September 1965 dari ruangan kerjanya.

Gerakan 30 September 1965 membuat suasana Ibu Kota mencekam. Sambungan telepon diputus. Aparat keamanan memberlakukan jam malam. Orang-orang hanya boleh berlalu-lalang hingga pukul enam malam.

"Tak terkecuali bagi wartawan. Mereka harus mengetahui sandi yang berubah-ubah bila ingin melakukan tugas peliputan," kata Alwi Shahab.

Ada cerita menarik dari kebijakan ini. Seorang wartawan harian Angkatan Bersenjata nyaris kehilangan nyawa gara-gara lupa menyebutkan kata sandi yang benar.

Ceritanya malam itu si wartawan sedang melintas Jalan Veteran Jakarta Pusat yang telah dijaga beberapa petugas ABRI. Oleh petugas yang berjaga dia diminta menjawab pertanyaan dari kata sandi “Yudha”. Semestinya jawaban dari pertanyaan itu adalah “Dharma”, tetapi karena gugup atau lupa si wartawan malah menjawab: “AB”, singkatan akrab dari harian Angkatan Bersenjata.

“Yudha?” tanya petugas jaga.

“AB Pak!” jawab si wartawan.

Karena merasa tidak mendapat jawaban yang benar petugas ABRI yang berjaga mengulangi pertanyaannya. “Yudha?!”

Namun jawaban yang didapat kembali sama: “Saya wartawan AB Pak!”.

Petugas itu akhirnya ingat saat itu hanya ada dua koran yang terbit yakni Berita Yudha dan harian Angkatan Bersenjata. Ia sadar jawaban si wartawan mengacu ke intitusi media tempatnya bekerja.

Sontoloyo sampean. Untung bertemu saya yang tiap hari harus mengantar Koran AB ke komandan. Kalau tidak mate kowe (mati kamu, bahasa Jawa),” kata si petugas seperti dikutip dari tulisan wartawan harian Angkatan Bersenjata Agus Husni dalam buku 30 Tahun Harian Umum Angkatan Bersenjata: Penegak dan Pengamal Pancasila.

Gerakan 30 September 1965 membuat suasana Ibu Kota mencekam. Sambungan telepon diputus. Aparat keamanan memberlakukan jam malam. Orang-orang hanya boleh berlalu-lalang hingga pukul enam malam.

Alwi Shahab pun merasakan pengalaman serupa. Malam itu, awal Oktober 1965, pria yang masih bekerja di Kantor Berita Antara ini hendak mengambil pernyataan pers di markas Kodam Jaya.

Sebelum keluar rumah Alwi terlebih dahulu menanyakan sandi yang berlaku malam itu kepada koleganya di Angkatan Laut. Dia mendapat informasi sandi malam itu adalah pertanyaan “siaga” dengan jawaban “waspada”.

photo
Kader Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Sebelum keluar rumah, saya terlebih dahulu menghubungi teman di marinir untuk menanyakan sandi pada malam itu. Sandi itu, misalkan, prajurit akan menanyakan siaga, kemudian harus dijawab waspada,” kenang pria yang akrab disapa Abah Alwi.

Kesiapan Alwi terbukti berguna. Saat melintas di ruas jalan dekat Masjid Istiqlal menuju Lapangan Banteng, mobilnya diberhentikan prajurit jaga. Dia diperbolehkan melanjutkan perjalanan setelah mengucapkan kata sandi dengan benar.

“Kaca jendela langsung saya buka. Kemudian, saya sebutkan sandinya. Alhamdulillah, saya diperbolehkan lewat,” kata pria yang akrab disapa Abah Alwi ini.

Selesai mengambil pernyataan pers yang berisi pembubaran PKI dan organisasinya Alwi kembali ke rumah melewati Jl Kramat Raya. Dia mengenang heningnya jalan menuju pulang pada malam itu.

“Saya melihat situasi yang sepi sekali. Tak ada mobil dan sepeda motor yang biasanya memenuhi ruas jalan. Jakarta ketika itu hening,” kenang Abah Alwi.

photo
Fakta PKI dalam Angka

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement