Kamis 29 Aug 2019 16:46 WIB

Mendikbud: Jika Ibu Kota Pindah Sistem Pendidikan Merata

Selama ini semua keputusan terkait pendidikan hanya di Jakarta.

Rep: Haura Hafizhah/ Red: Ani Nursalikah
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy
Foto: Republika TV/Muhammad Rizki Triyana
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sistem pendidikan akan lebih mudah merata dan berkualitas jika Ibu Kota Jakarta pindah ke Kalimantan. Sebab, saat ini masih ada kesenjangan pendidikan di berbagai daerah karena semua keputusan terkait pendidikan berpusat di Jakarta.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan, selama ini kendala sistem pendidikan di Indonesia adalah tidak merata dan jauh dari kualitas. Semua ini terjadi karena semua keputusan terkait pendidikan hanya di Jakarta.

Baca Juga

“Selama ini porosnya ada di Jakarta. Jika ibu kota dipindahkan ke Kalimantan pastinya sistem pendidikan ini bisa lebih merata. Upaya kami meratakan pendidikan yang berkualitas seluruh Indonesia dan mengurangi kesenjangan yang saat ini masih ada,” katanya kepada wartawan di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Kamis (29/8).

Muhadjir menambahkan untuk meratakan pendidikan yang berkualitas, saat ini ia memakai strategi sistem zonasi pendidikan. Sistem zonasi pendidikan merupakan platform kebijakan pemerataan dan percepatan pendidikan. Sampai sekarang ia sedang menunggu Peraturan Presiden (Perpres) terkait sistem zonasi pendidikan yang sudah diusulkan sehingga kedepannya sistem tersebut bisa diterapkan di sekolah seluruh Indonesia.

Muhadjir melanjutkan sistem zonasi pemerataan guru akan terlaksana pada 2020. Ia sudah melakukan pembahasan dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait pendapatan guru tidak tetap atau honorer. Nantinya, pendapatan mereka dari sumber yang pasti, yaitu dari Dana Alokasi Umum (DAU). Pendapatan guru tersebut akan setara dengan upah minimum regional (UMR). Namun, pembahasan DAU tersebut belum sampai tahap selesai.

“Kemenkeu mendukung usulan kami. Selanjutnya, Kemenkeu yang wewenang untuk menjelaskan DAU. Mudah-mudahan 2020 terlaksana agar para guru honorer tidak dibayar dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) atau dari uang urunan para wali siswa yang ada di sekolah tersebut,” ujar dia.

Muhadjir mengimbau agar tidak ada lagi moratorium guru. Jika moratorium guru dilaksanakan pasti akan terjadi penumpukan dan kekurangan guru. Saat ini, pensiun guru 2019 mencapai 52 ribu puncaknya pada 2022, yaitu 72 ribu. Karena itu, setiap tahun harus ada pengangkatan. Pengangkatan itu adalah untuk pengganti guru yang pensiun serta penambahan sekolah baru harus ada penambahan guru.

“Jangan sampai ada moratorium guru apalagi sampai bertahun-tahun kalau itu terjadi akan menyebabkan masalah besar. Sekarang ini kami harapkan diselesaikan oleh pemerintah untuk permasalahan guru honorer untuk lima tahun kedepan. Ada tiga skema yaitu, guru honorer, pengganti pensiun, dan penambahan sekolah baru,” kata dia.

Untuk digitalisasi sekolah, ia menjelaskan tahun ini ada sekitar 1 juta 500 ribu tablet yang disebarkan ke sekolah agar siswa belajar dengan dunia virtual. Adanya tablet ini bersumber dari dana BOS afirmasi untuk wilayah kawasan tertinggal, terdepan dan terluar (3T) dan BOS kinerja.

Nantinya, mereka bisa belajar dengan program belajar online dari Rumah Belajar yang sudah disiapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Untuk masalah internet, Muhadjir sudah bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo).

“Tahun depan target akan lebih banyak lagi sekitar 10 juta tablet. Sistem belajar online kami bisa diunduh jadi jika offline masih bisa belajar. Saat ini, kami sedang mendata sekolah-sekolah yang mana saja yang tidak ada internet. Insya Allah, Oktober kami selesai mendata,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement