Selasa 18 Sep 2018 12:05 WIB

Menag: Akademisi Islam tak Boleh Berada dalam Menara Gading

Salah satu kontribusi yang diharapkan adalah menularnya gagasan populisme.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Ani Nursalikah
Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin membuka acara The 18th Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2018 di Hotel Mercure, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (18/9).
Foto: Kemenag
Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin membuka acara The 18th Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2018 di Hotel Mercure, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (18/9).

REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Persoalan radikalisme dan inklusivisme dalam Islam menjadi tema utama yang dibicarakan pada forum The 18th Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2018 di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin membuka acara AICIS di Hotel Mercure, Palu, Selasa (18/9).

Lukman mengatakan, forum seperti ini penting diselenggarakan agar studi Islam tidak teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Dalam diskusi akan dibahas sejauh mana para pakar studi Islam merespons dan memberikan solusi atas persoalan sosial keagamaan yang belakangan ini mengganggu kerukunan.

"Akademisi Islam tidak boleh berada di atas menara gading yang terlalu asyik dengan penelitian dan diskusi yang tidak berkontribusi dalam menyelesaikan masalah sosial, politik, kebangsaan baik di Indonesia maupun dunia," kata Lukman di Hotel Mercure, Palu, Selasa (18/9).

Ia menerangkan, kasus-kasus intoleransi, penodaan agama, persekusi, hingga kasus radikalisme dan terorisme membutuhkan respons yang tidak bersifat reaktif belaka. Tapi membutuhkan kajian dan penelitian empirik.

Menurutnya, di era keterbukaan global telah melahirkan tantangan di mana-mana termasuk di Indonesia. Bergesernya kecenderungan keagamaan menjadi lebih korservatif. Juga kepentingan politik yang menunggangi adalah contoh dinamika masyarakat yang secara ril menciptakan masalah.

"Terhadap yang demikian kita wajib merespons dengan kearifan," ujarnya.

Menag juga berharap konferensi ini melahirkan kontribusi nyata yang dipersembahkan kepada dunia. Salah satu kontribusi yang diinginkan dari akademisi Islam adalah menularnya gagasan populisme. Kabar baiknya sejauh ini dunia semakin menyadari Islam Nusantara memiliki kekhasan tersendiri dalam menanggapi radikalisme dan konservativisme berbasis agama.

Pembicara utama dalam serangkaian acara AICIS di antaranya menteri agama dan Dominik Müller dari Max Planck Institute for Social Anthropology, Jerman. Max merupakan pakar antropologi agama yang penelitiannya berbasis di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Pembicara asing lainnya adalah Prof Hans Christian Gunther dari Albert Ludwig Universitat, Freiburg, Jerman. Kemudian Hew Wai Weng dari University Kebangsaan Malaysia dan Ken Miichi dari Waseda University, Jepang.

AICIS tahun ini mengusung tema "Islam in a Globalizing World: Text, Knowledge and Practice". Sebanyak 1.700 akademisi studi Islam dari seluruh dunia membicarakan adanya kesenjagangan antara teks  Islam dengan praktik di lapangan.

AICIS diprakarsai oleh Kementerian Agama, sebanyak 300 makalah dan paper akan dibahas dalam diskusi tingkat tinggi ini. Para akademisi studi Islam dari berbagai jurusan yang akan membahasnya.

Pertemuan para pemikir Islam ini menjadi barometer perkembangan kajian Islam dan tempat bertemunya para pemangku kepentingan studi Islam dunia. Kampanye kekerasan oleh ISIS dan kelompok-kelompok radikal di berbagai belahan dunia memaksa para ilmuwan berkumpul untuk saling mengisi dan berkontribusi pada bentuk keislaman sesuai ajaran aslinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement