Selasa 10 Jul 2018 10:23 WIB

FSGI Minta Permendikbud 14/2018 Tentang PPDB Direvisi

Dalam Permendikbud tersebut masih banyak kelemahan sehingga menuai berbagai masalah

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Esthi Maharani
Puluhan orang tua siswa melakukan unjuk rasa memproses sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di depan Gedung Sate, Senin (9/7).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Puluhan orang tua siswa melakukan unjuk rasa memproses sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di depan Gedung Sate, Senin (9/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) meminta pemeritah merevisi Peraturan Mendikbud No. 14/2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi. Perbaikan dinilai penting, karena dalam Permendikbud tersebut masih banyak kelemahan sehingga menuai berbagai masalah di lapangan.

Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo mengatakan, kelemahan pertama yaitu pada Bab III tentang tata cara PPDB  bagian ke 6 tentang biaya. Di pasal 16, disebutkan bahwa Pemprov wajib menerima dan membebaskan biaya pendidikan bagi peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu yang berdomisili dalam satu wilayah daerah provinsi paling sedikit 20 persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima dibuktikan dengan SKTM atau kartu PKH.

"Sebenarnya ketentuan tersebut menimbulkan gejolak bagi pemegang kart-kartu lain seperti KIS, KKS, atau lainnya yang pada akhirnya harus diakomodasi," kata Heru kepada Republika, Selasa (10/7).

Karenanya, Heru menegaskan perlunya perbaikan Bab III bagian ke 6 tentang biaya PPDB khususnya pada pasal 19 ayat 1 - 3. Sehingga tidak menimbulkan kerancuan-kerancuan dalam alih jenjang baik dari SMP ke SMAN atau SMKN dalam bentuk PPDB jalur SKTM.

"Perbaikannya bisa dengan membuat Surat Edaran Mendikbud untuk menjelaskan pasal-pasal bermasalah tersebut secara gamblang. Sebab untuk perbaikan Permendikbud tentu membutuhkan waktu agak lama," jelas dia.

Dia pun mengimbau agar para orang tua dan pengurus RT/RW bersikap dan bertindak jujur untuk mendapatkan atau mengeluarkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Sebab meningkatnya pembuatan SKTM oleh oknum orang tua yang ternyata adalah keluarga yang mampu demi bisa bersekolah di sekolah favorit tertentu, sangat merugikan bagi siswa-siswa lain yang secara nilai sangat memungkinkan untuk diterima di sekolah tersebut.

Sementara itu, Wakil Sekjen FSGI Satriwan Salim mengemukakan kelemahan lain dari Permendikbud 14/2018 yakni terkait dengan radius terdekat yang terdapat pada pasal 16 ayat 1. Ayat tersebut mengatur agar sekolah yang diselengarakan oleh Pemda wajib menerima calon peserta didik berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah dengan kuota paling sedikit 90 persen dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.

Menurut Satriwan, pasal tersebut nyata-nyata membatasi sekolah-sekolah yang ada di pusat kota yang jauh dari konsentrasi pemukiman warga sehingga minimnya jumlah siswa alih jenjang, yang menjadi rebutan dari sekolah-sekolah yang saling berdekatan. Fakta seperti di atas terjadi di kota Solo pada SMPN 3, SMPN 25, dan SMPN 26.

"Kelemahan pasal di atas juga membawa kerugian bagi sekolah-sekolah yang tidak terpenuhi daya tampungnya sehingga berakibat bagi guru-guru yang berada di sekolah tersebut tidak terpenuhinya jumlah jam mengajar 24 jam yang berakibat tidak mendapat tunjangan sertifikasi yg selama ini diterima," ungkap Satriwan.

Karena itu, dia meminta pemerintah dalam hal ini Kemdikbud bersama Dinas Pendidikan untuk memetakan kembali zonasi secara cermat hingga tingkat kelurahan/desa. Selain itu juga pemerintah perlu meningkatkan sarana pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah di tiap kecamatan untuk alih jenjang agar terjadi pemerataan pendidikan, dan meningkatkan anggaran pendidikan.

"Hal itu juga bertujuan untuk kemajuan pendidikan dasar dan menengah sehingga problem pendidikan selama ini bisa berangsur-angsur mengalami peningkatan secara kualitatif dan berkeadilan," tegas Satriwan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement