Selasa 08 Aug 2017 18:40 WIB
Ihwal

GSM, Mendorong Perbaikan Sistem Pendidikan

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Gerakan Sekolah Menyenangkan
Foto: Gerakan Sekolah Menyenangkan
Gerakan Sekolah Menyenangkan

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Sudah menjadi fakta anak-anak sekolah di Indonesia terbebani kurikulum dan batas nilai kelulusan. Hal itulah yang mendorong kemunculan Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) menghadirkan perubahan sistem pendidikan yang tujuannya tentu memperbaiki kualitas sumber daya manusia Indonesia.

"Sebab, di satu sisi saya menyekolahkan anak saya lebih dari enam tahun di Australia, dan mereka bahagia sekali sekolah. Jika libur (mereka) ingin balik lagi ke sekolah karena mereka lebih senang mengisi hari-hari di sekolah," kata Muhammad Nur Rizal, Founder dari Gerakan Sekolah Menyenangkan kepada Republika baru-baru ini.

Selain itu, lanjut Rizal, anak-anaknya merasa tidak terbebani karena tidak ada buku yang dibawa ke rumah. Mereka juga memiliki karakter yang riang dan bertata krama yang baik, terutama bisa menempatkan diri. Itu ditunjukkan dengan pendapat anak-anaknya yang kritis tapi dapat senantiasa diungkapkan dengan sopan.

Ia melihat anak-anaknya merasa memiliki teman yang banyak serta keinginan membaca dan menulis yang sangat tinggi. Tidak cuma itu, mereka terbiasa merefleksikan apa yang dibaca dari metodologi riset dan menulis yang diajarkan sekolah. Artinya, membaca bukan untuk mengejarkan pekerjaan rumah atau ujian saja.

"Saya sebagai ayah tiga orang putri merasa beruntung dengan sistem pendidikan seperti itu, makanya rasa syukur itu ingin kita bagikan ke anak-anak Indonesia agar mereka bisa merasakan hal yang sama seperti yang anak-anak saya rasakan," ujar Rizal.

Mulai membicarakannya dengan istri dan beberapa teman, Rizal bertekad membagi pengalaman terbaik pendidikan itu ke Indonesia. Filosofi utamanya, sebagai pendidik ia ingin anak-anak Indonesia siap hadapi perubahan dunia yang sudah pesat terjadi, termasuk perekonomian yang kini sudah berbasis teknologi informasi.

Pasalnya, perubahan itu membutuhkan tantangan baru. Mengingat akan banyak pekerjaan populer yang hilang, sehingga anak-anak harus memiliki kompetensi yang dibutuhkan, tidak lagi sekadar menghafal atau bermodalkan ijazah. Kompetensinya berupa daya kritis, kreatif, terampil, etos kerja, komunikasi, kerja sama, dan lain-lain.

"Sebab, sistem pendidikan kita belum melakukan perubahan yang signifikan untuk merespons ini, sedangkan kita harus menyiapkan sumber daya manusia menghadapi prediksi bonus demografi dan tantangan perubahan dunia," kata dosen Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.

Pada 2013, Rizal memulai langkahnya dengan mendokumentasikan pengalaman pendidikan dan menuangkan lewat buku. Buku pertama 'Sekolah Itu Asyik' disusun 28 PhD seluruh Australia, disusul buku kedua tahun lalu berjudul 'Sekolah Nir Kekerasan' yang disusun 28 penulis dari empat benua (Amerika, Eropa, Australia, Asia).

Langkah berlanjut. Pada 2014 GSM sudah memberikan pelatihan dan tiga tahun selanjutnya menjalin kerja sama dengan sekolah di Australia. GSM turut mendampingi sekolah-sekolah Indonesia agar dapat mengaktualisasikan apa yang didapatkan dengan budaya lokal Indonesia di masing-masing sekolah. "Dan itu berhasil," ujar Rizal.

Tahun lalu saja, GSM sudah memiliki sekitar 20 sekolah jejaring, ditambah sekitar 22 sekolah jejaring tahun ini. Walau sebagian besar ada di Yogyakarta, gerakan ini masif dilakukan di seluruh Indonesia dengan ratusan guru yang sudah mengaplikasikannya ke sekolah masing-masing.

Sejumlah aspek yang harus dipenuhi sekolah di antaranya ruang emosi dan fisik yang seimbang bagi anak-anak, serta lingkungan sekolah yang menciptakan rasa aman dan membuat anak percaya diri bertanya dan bereksplorasi. Selain itu, terdapat pembelajaran yang mendekatkan anak-anak dengan realitas kehidupan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement