Kamis 08 Dec 2016 05:02 WIB

30 Persen Murid Kelas II SD di Sumba Alami Kesulitan Baca

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Damanhuri Zuhri
Siswa Sekolah Dasar (ilustrasi)
Siswa Sekolah Dasar (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemitraan untuk Pengembangan Kapasitas dan Analisis Pendidikan (ACDP) merilis sejumlah permasalahan pendidikan yang mendesak untuk segera dituntaskan di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Salah satu hasil yang dipublikasi, yakni, sebanyak 30 persen murid kelas II Sekolah Dasar mengalami kesulitan membaca.

"Analisis situasi komprehensif tersebut mempresentasikan berbagai bukti akan kondisi yang terjadi Sekolah Dasar di Sumba," ungkap anggota Tim Studi ACDP 040, ACDP Indonesia, Eko Cahyono dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Rabu (7/12).

Eko menjabarkan, hasil analisis menggarisbawahi ihwal tingginya angka mengulang kelas di kelas II, yakni, kisaran 12-21 persen di seluruh kabupaten. Selain itu, sekitar 30 persen murid kelas II SD mengalami kesulitan membaca.

Eko menyebut, tingginya angka mengulang kelas dan rendahnya kemampuan membaca, mengindikasikan kualitas pendidikan di kelas-kelas awal di Sumba. Ia mengusulkan adanya tes untuk mengetahui tingkatan murid kelas II dan III untuk mengukur kesiapan belajar masing-masing anak.

Eko merinci, sejumlah permasalahan yang ditemukan di Sumba, seperti, proporsi guru yang tidak terlatih, ketersediaan dan distribusi guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS), ketersediaan sumber daya yang berkelanjutan bagi sekolah-sekolah swasta di Sumba, serta kualitas pengajaran guru dan kesiapan murid untuk belajar.

Guru dan tenaga kependidikan, menurut Eko, juga menjadi persoalan besar dalam sistem pendidikan di Sumba. Sebab, ia menjabarkan, guru dengan kualifikasi S1 atau guru dengan status PNS tidak secara rata terdistribusi di pulau itu.

Data tersebut merujuk pada jumlah sekolah yang digunakan sebagai studi kasus dalam penelitian ini. Hasilnya menunjukkan, dua pertiga guru di Sumba, hanya merupakan lulusan SMA.

Hal serupa juga ditemukan untuk jabatan kepala sekolah. Sebanyak 42 persen kepala sekolah di Sumba, adalah lulusan SMA. Selain itu, Eko melanjutkan, sebanyak 60 persen guru yang bekerja di Sumba bukanlah PNS dan tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan.

"Guru-guru ini, yang merupakan bagian penting dari tenaga kependidikan dianggap sebagai 'tenaga tambahan' Sumba walaupun mereka sangat kurang didukung dengan perlindungan kebijakan, gaji dan insentif yang memadai, sehingga menimbulkan persoalan dalam mencapai kualitas pembelajaran yang diinginkan," tutur Eko menjelaskan.

Kendati mengalami masalah dengan bahasa, ia menyebut, hampir 75 persen murid dapat menjawab secara pertanyaan lisan menggunakan bahasa ibu. Ia menyebut, bagi murid, yang belum mengerti struktur tulis dan kosa kata dari sebuah bahasa, kemampuan untuk berbicara dan mendengar dalam bahasa ibu menjadi potensi dasar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement