Kamis 08 Aug 2019 07:57 WIB

Rektor UGM Angkat Bicara Soal Rencana Impor Rektor

Rektor UGM minta pemerintah pertimbangkan kembali rencana impor rektor.

Rektor Universitas Gadjah Muda (UGM) Panut Mulyono usai menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (7/8).
Foto: Republika/Fauzi Ridwan
Rektor Universitas Gadjah Muda (UGM) Panut Mulyono usai menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (7/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rektor Univeristas Gadjah Mada (UGM) Panut Mulyono menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wapres, Rabu (7/8). Usai menemui Wapres, Panut menuturkan, kedatangannya untuk menyampaikan undangan kepada Wapres Jusuf Kalla untuk menghadiri Kongres Pancasila ke-11 di UGM pada 15 Agustus mendatang.

Selain itu, ia mengaku, persoalan impor rektor ini juga didiskusikan bersama Wapres Jusuf Kalla. Kepada wartawan di Istana Wapres, Panut meminta pemerintah mempertimbangkan kembali rencana kebijakan impor rektor dari luar negeri untuk perguruan tinggi negeri (PTN). Menurutnya, merekrut rektor asing tidak akan langsung otomatis meningkatkan ranking PTN dalam peringkat dunia.

Sebab, penilaian sebuah PTN untuk masuk pemeringkatan dunia ditentukan banyak faktor yang mencakup kemajuan kualitas pendidikan PTN itu sendiri. Namun, Panut tidak secara tegas menolak maupun menerima rencana perekrutan rektor asing tersebut.

"Kalau saya tidak menjawab setuju atau tidak, ya mari kita pikirkan masak-masak bahwa kualitas pendidikan kita cepat maju, daripada kemajuan itu dinilai dari pihak mana pun, ya posisinya bagus," ujar Panut kepada wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (7/8).

Panut menjelaskan, secara prinsip, ia memahami tujuan impor rektor asing tersebut bagian dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi nasional. Bahwa, untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di tingkat dunia, juga perlu dengan memperbaiki semua lini pendidikan di Indonesia.

Menurutnya, agar bisa menembus ranking di dunia, harus PTN di Indonesia harus memenuhi indikator-indikator penilaian dalam perankingan. Mulai dari banyaknya jumlah publikasi jurnal internasional, penelitian yang berkualitas dan juga peralatan yang mendukung penelitian berkualitas.

"Itu kan sangat jelas apa yang dinilai, skoring-nya itu item-item-nya apa saja, kita kan sudah tahu. Dan sekarang kita pun sudah melakukan di hal-hal semacam itu yang terkait dengan kualitas pendidikan kita," ujar Panut.

Sementara, kekurangan pendidikan tinggi di Indonesia antara lain belum semua peralatan laboratium mendukung penelitian yang berkualitas. Begitu juga, jumlah mahasiswa pascasarjana (S-2) maupun strata tiga (S-3) di Indonesia belum sebanyak strata satu (S-1), sehingga jumlah penelitiannya masih terbatas. Karenanya, jika itu tidak diperbaiki secara keseluruhan pun, keberadaan rektor asing tidak otomatis membuat PTN menembus ranking dunia. Sebab, dipimpin rektor asing pun, PTN harus memenuhi standar penilaian tersebut.

"(Misal) ketika saya seorang rektor asing dengan misi mempercepat pe-ranking-an dunia, nanti ke sini kan programnya sudah nyata bahwa untuk ranking dunia adalah jumlah publikasi, jumlah sitasi, kemudian juga income dari industri, kan programnya sudah jelas. O... ini mahasiswa S-3 kurang banyak, ayo kita perbanyak mahasiswa S-3, ini alat labnya tidak mencukupi untuk riset-riset yang bonafide, yang canggih, ayo beli alat-alat, sekarang apakah kita juga bisa segera memenuhi kondisi itu?" kata Panut.

Ia menilai, problematika pendidikan tinggi di Indonesia berbeda dengan persoalan pendidikan tinggi di negara lain. Karena itu, sebaiknya penanganannya tidak bisa disamaratakan. Karenanya, ia menyarankan agar profesor asing atau akademisi dari luar negeri tersebut cukup beraktivitas dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia.

"Tidak harus sebagai dosen tetap, tetapi mengajar satu semester, beraktivitas dengan dosen-dosen kita, meneliti bersama, dosen kita ke sana, dosen asing ke sini, menulis bersama, itu sangat bagus karena itu lebih mungkin," tegas dia.

Sebelumnya, Wapres Jusuf Kalla menyarankan perekrutan rektor asing untuk PTN itu dilakukan bertahap dari tingkatan bawah. JK menilai, akan lebih baik perekrutan dimulai dari tingkatan dosen atau dekan, sebelum menjadi rektor.

"Setuju rektor asing, tapi melalui tahapan sehingga mereka universitas tak syok, rektornya juga tidak syok, dimulai dari penasihat teknis, dekan, baru kalau dimajukan, jadi rektor," ujar Jusuf Kalla, Selasa (6/8).

Ia khawatir impor rektor asing justru membuat rektor tersebut kesulitan menyesuaikan dengan keadaan PTN di Indonesia. Terlebih, urusan rektor jauh lebih kompleks, tak hanya mengenai pendidikan dan pengajaran kampus saja.

"Saya bilang dekan dulu. Dekan kan sangat teknis atau malah konsultan teknis dulu, konsultan teknik masuk, sudah tahu, dia bisa jadi dekan, dari dekan bisa jadi rektor," ujarnya.

JK pun mengaku tidak anti dengan kebijakan impor rektor maupun dekan PTN asing. Sebab, saat ini, dunia pendidikan memang harus berubah mengikuti perkembangan zaman dan teknologi. "Universitas kita juga harus cepat majunya karena dipandang perlu, ada daya dorong yang lebih kuat, salah satunya ialah itu mendatangkan dosen, ahli-ahli," tutur Wapres yang sudah menjabat dua periode tersebut. n fauziah mursid,  N ed: agus raharjo

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement