Senin 01 Apr 2019 22:01 WIB

Pendidikan Mitigasi Bencana Perlu Sedini Mungkin

Pendidikan mitigasi bencana bersifat lintas disiplin.

Salah seorang nara sumber, Zulfikri Anas (kanan) menerima kenang-kenangan dari Samsul Bachri PhD.
Foto: Dok IB
Salah seorang nara sumber, Zulfikri Anas (kanan) menerima kenang-kenangan dari Samsul Bachri PhD.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG – Indonesia merupakan negara yang potensial bencana. Karena itu, sosialisasi dan pendidikan mitigasi bencana perlu dilakukan sejak usia dini dan berkelanjutan. 

Hal itu mengemuka dalam simposium  bertema "Science Behind Disaster: Mengenal bencana dengan memahaminya sebagai salah satu bentuk mitigasi berkelanjutan di lingkungan sekolah". Simposium itu  digelar dalam rangka Olimpiade Nasional Geografi dan Geosains FITB-ITB, sekaligus dalam rangka menyongsong 100 tahun ITB, di Gedung Teknik Geodesi dan Geomatika ITB, Sabtu (30/3).

Simposium dibuka oleh Samsul Bachri PhD, KK Sains dan Sistem Kerekayasaan Wilayah Pesisir dan Laut, Prodi Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB.  Menurutnya, agar pendidikan mitigasi bencana berjalan secara efektif, semua anak didik harus dilatih dan dibiasakan untuk memahami karakteristik bumi dan alam tempat mereka hidup.

“Di sinilah pentingnya pembelajaran geografi sebagai pusat dari semua pembelajaran. Geografi tetkait dengan semua aspek kehidupan, seperti ekonomi, politik, keamanan, kenyamanan, kedaukatan, bahkan pertahanan dan keamanan,” ungkap Samsul Bachri dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Senin (1/4).

Simposium mitigasi bencana ITB itu menampikan sejumlah nara sumber. Mereka adalah,  Dr Irwan Meilano (dosen Teknik Geodesi dan Geomatika ITB), Dr  N  Rahmah Hanifa (pakar Kajian Gempa, ketua U-INSPIRE, Peneliti dan Sekretaris Pusat Penelitian Mitigasi Bencana ITB), dan Zulfikri Anas, dari Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, Kemdikbud).  

Irwan Meilano mengatakan, setiap peristiwa alam pasti memiliki makna, baik secara fisik maupun non fisik. “Untuk dapat mencegah terjadinya bencana, sangat bergantung kepada kecerdasan dan kearifan manusia membaca tanda-tanda alam, suatu peristiwa menjadi sinyal akan terjadi peristiwa berikut,” ujarnya.

Ia menambahkan, “Besarnya risiko bencana sangat bergantung pada kapasitas manusia, seberapa tingkat kesiagaan kita, dan seberapa arif kita dalam memilih tempat bermukim atau seberapa bijak kita memanfaatkan dan mengelola alam.”

Dr  N  Rahmah Hanifa mengemukakan,  peristiwa alam tidak bisa dihalangi, namun risiko bencana dapat dihindari atau dikurangi. “Memahami secara baik setiap peristiwa alam melalui berbagai ilmu pengetahuan, itulah cara terbaik bagi manusia untuk memyelamatkan diri dan kehidupan. Kita tidak bisa mencegah terjadinya banjir bila saatnya tiba, yang dapat kita lakukan adalah memelihara alam agar tidak terjadi kerusakan yang berdampak pada ketidakseimbangan alam,” tuturnya.

Ia menambahkan,  dalam konteks ini, ilmu diperlukan untuk menghindari korban jiwa, bukan untuk mencegah terjadinya gempa atau tsunami karena semua itu di luar kekuatan manusia. “Di sinilah keutamaan keefektifan pendidikan kesiapsiagaan bencana bagi semua lapisan masyarakat. Untuk itu, kita perlu menemukan strategi yang tepat untuk mensinergikan antara kesiapsiagaan bencana dengan ilmu pendidikan di semua jenjang dan jalur pendidikan,”  ujar Rahmah Hanifa.

Zulfikri Anas menyatakan, pendidikan pada dasarnya adalah upaya sadar dan terencana untuk menyelamatkan setiap manusia dari segala bentuk dan jenis bencana dalam kehidupan, baik lahir dan batin, maupun dunia dan akhirat. “Dengan demikian, sesungguhnya semua aspek mitigasi bencana sudah terwadahi dalam kurikulum dan pendidikan secara keseluruhan,” ujarnya.

Terkait dengan hal ini, keberadaan kurikulum merupakan jembatan untuk menginsafi makna penciptaan alam semesta beserta keseluruhan kehidupan di dalamnya. Untuk itu, kurikulum yang efektif adalah kurikulum yang dirancang dan diimpelementasikan untuk menjawab semua persoalan yang terjadi dalam kehidupan. “Melalui kurikulum tersebut, kita dapat merancang proses pembelajaran yang mengaktifkan potensi setiap anak agar menjadi kekuatan dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai persoalan dalam kehidupan, inilah inti dari pendidikan mitigasi bencana,” tuturnya, 

Namun, Zulfikri menambahkan,  perlu disadari adalah bahwa pendidikan mitigasi bencana bersifat lintas disiplin. “Karena itu, perlu dukungan kompetensi dari berbagai macam bidang studi, antara lain, matematika, IPA, IPS (khususnya Geografi), PPKn terkait dengan norma-norma, Bahasa, dan bahkan Seni Budaya, serta  Agama. Untuk itu, diperlukan kepiawaian para pendidik dalam merancang pembelajaran integratif sehingga setiap anak didik terlatih menggunakan pola pikir kolaboratif, analitis, dan kritis,” papar Zulfikri yang telah menulis buku Sekolah Untuk Kehidupan, dan  Kurikulum Kehidupan (diterbitkan oleh Penerbit Al Mawardi Prima).  

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement