Kamis 05 Sep 2019 04:17 WIB

'Perlu Ada Evaluasi Total Program Diploma 3'

Pola pembelajaran jenjang D3 masih belum menjawab kebutuhan industri.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Ani Nursalikah
Ilustrasi.
Foto: Republika/Flori Sidebang
Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pendidikan tinggi Prof Edy Suandi Hamid menilai perlu ada evaluasi total dari pendidikan diploma tiga (D3) di Indonesia. Menurut dia, selama ini pembelajaran yang dilakukan di sebagian besar perkuliahan D3 kurang ditujukan untuk bekerja.

Padahal, di dalam perkuliahan D3 sebagai pendidikan vokasi seharusnya kurikulum yang dibuat difokuskan agar lulusannya nanti siap bekerja. Sayangnya, menurut Edy saat ini hal tersebut tidak terlalu diperhatikan.

Baca Juga

"UGM saja sudah mulai mengganti D3 dengan sarjana terapan yang setara S1, artinya memang D3 ini perlu kita evaluasi," kata Edy pada Republika.co.id, Rabu (4/9).

Ia menuturkan, sebagian besar lulusan D3 memiliki kompetensi yang tidak diharapkan. Sehingga, ketika lulus para lulusan ini tidak bisa cepat terserap oleh bursa kerja. Hal inilah yang menjadi peminat D3 semakin sedikit peminatnya.

"Lantas ngapain kalau begitu, lebih baik ke program sarjana saja. Ini jadi masalahnya," kata dia.

Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY) ini berpendapat, saat ini kurikulum D3 terkadang mirip dengan yang ada di dalam program sarjana. Di dalam program sarjana lebih banyak soal akademik dan banyak teori.

Seharusnya kurikulum D3 berfokus kepada praktik. Namun, masalah kembali lagi kepada kurangnya fasilitas. Ruang praktik untuk mahasiswa tidak ada sehingga mereka tidak bisa berlatih dengan mudah.

Ia mencontohkan situasi yang berada di luar negeri seperti Australia dan Taiwan. Di dalam pendidikan vokasi pariwisata misalnya, mereka memiliki fasilitas yang lebih lengkap sehingga mahasiswanya bisa langsung mencoba.

"Jadi nanggung betul. Sekarang kita kompetensinya, kita mau kerja itu masih belum siap ternyata. Belum siap tadi karena kurikulum dan juga sarana untuk berpraktik," kata Edy.

Menurut Edy, selain membenahi kurikulum di dalam pendidikan tinggi D3, hal yang perlu dievaluasi juga adalah budaya di dalam masyarakat. Untuk membenahi pendidikan tinggi D3 tidak bisa melupakan budaya di dalam masyarakat.

Saat ini, para calon mahasiswa lebih memilih menempuh pendidikan S1 atau D4. Hal tersebut menunjukkan sebagian besar masyarakat Indonesia masih berorientasi terhadap gelar.

"Budaya masyarakat kita masih mengorientasikan gelar. Nah, jadi mereka ngapain D3? Tambah 1,5 tahun atau satu tahun bisa sarjana," kata Edy.

Pendapat senada diutarakan oleh Anggota Dewan Kehormatan Forum Rektor Indonesia (FRI), Asep Saefuddin. Selama ini, pola pembelajaran di D3 masih belum menjawab kebutuhan industri.

Akhirnya, harapan masuk D3 agar cepat bekerja tidak menjadi kenyataan. "Akhirnya mereka ambil S1 lagi. Daripada demikian, S1 lebih diminati. Efeknya tidak banyak yang ke vokasi atau D3 itu. Ya tentu kurang peminatnya lalu gulung tikar," kata Asep.

Menjawab permasalahan tersebut, Asep mengatakan seharusnya perguruan tinggi harus aktif memperbarui kurikulum. Selain itu, perguruan tinggi harus aktif bekerja sama dengan instansi lain seperti industri dan lembaga yang relevan.

"Dosen juga perlu melibatkan praktisi, dosen harus juga sering pelatihan dengan industri," kata dia.

Menteri Pendidikan, Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengatakan, manajemen perguruan tinggi swasta menjadi kewajiban yayasan untuk memperbaiki diri. Ia mengatakan, kementerian mengatur soal akademiknya saja.

"Kalau swasta kita serahkan kepada swasta, maka yang kami atur adalah akademiknya. Kalau nanti manajemen kita serahkan ke mereka," kata Nasir.

Selama ini, Kemenristekdikti juga telah mendorong agar pendidikan tinggi vokasi berbasis industri. Pemerintah juga memiliki target agar pada 2024 tercapai peningkatan kualitas SDM. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement