Ahad 27 Jan 2019 15:22 WIB

Mahasiswa ITS Pecahkan Masalah Bongkar Muat Sapi di Madura

Selama ini sapi dilemparkan ke laut.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Dwi Murdaningsih
Pedagang sapi dan pembeli bertransaksi di Pasar Keppo, Pamekasan, Jawa Timur, Sabtu (30/12). Memasuki libur Natal dan Tahun Baru harga sapi Madura naik Rp750.000 hingga satu juta rupiah per ekor, karena meningkatnya permintaan sapi potong dari sejumlah daerah di Indonesia.
Foto: Saiful Bahri/Antara
Pedagang sapi dan pembeli bertransaksi di Pasar Keppo, Pamekasan, Jawa Timur, Sabtu (30/12). Memasuki libur Natal dan Tahun Baru harga sapi Madura naik Rp750.000 hingga satu juta rupiah per ekor, karena meningkatnya permintaan sapi potong dari sejumlah daerah di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Mahasiswa Departemen Teknik Transportasi Laut Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Alwi Sina Khaqiqi merancang desain dermaga apung sebagai solusi permasalahan sistem bongkar muat sapi di Pelabuhan Rakyat (Pelra) Dungkek, Kabupaten Sumenep, Madura. Pelabuhan apung tersebut dirasanya perlu dikembangkan karena hingga saat ini, bongkar muat sapi di tempat itu masih menjadi polemik di masyarakat.

Alwi mengungkapkan, selama ini proses bongkar muat sapi dari Pulau Sapudi ke Kabupaten Sumenep masih dilakukan dengan cara melemparkan sapi ke laut. Hal ini lantaran kapal pengangkut sapi tidak bisa bersandar di dermaga utama.

“Padahal, Pulau Sapudi memiliki produksi sapi tertinggi nomor dua se-Jawa Timur,” kata dia melalui pesan singkatnya, Ahad (27/1).

Alwi mengatakan, pelemparan secara paksa sapi-sapi tersebut akan berakibat pada turunnya berat sapi hingga 5 kilogram. Sehingga, hal ini juga mengakibatkan harga jual sapi ketika sampai di Sumenep turun hingga 20 persen. Tak hanya itu, terkadang sapi yang dilemparkan ke laut juga tidak langsung menuju bibir pantai, melainkan malah ke tengah laut dan menyulitkan, bahkan tak jarang akhirnya ada yang mati.

Alwi menjelaskan, dermaga apung yang dirancangnya menggunakan High Density Polyethylene (HDPE). Alasannya, lebih murah jika dibandingkan dengan dermaga yang terbuat dari beton. Selain itu, dermaga ini juga memiliki nilai estetika dan proses pengerjaannya yang relatif cepat.

“Waktu pemasangan dermaga apung dengan menggunakan HDPE ini hanya sekitar 20 hari,” ujar mahasiswa angkatan 2014 ini.

Berdasarkan hasil penelitiannya, nilai kelayakan dari desain dermaga apung rancangannya yaitu sekitar 1,35. Artinya, jika nilai kelayakan di atas angka 1, maka dermaga layak untuk diimplementasikan.

baca juga: Kementan Perluas Lahan Perkebunan Kopi Arabika di Jambi

Untuk cara kerjanya sendiri, sambung Alwi, desain dermaga dengan panjang sebesar 40 meter dan lebar 1 meter ini hanya perlu disejajarkan dengan kapal pengangkut sapi tersebut. Sehingga memudahkan untuk aktivitas bongkar muat di pelabuhan tersebut.

Ia juga menambahkan, dermaga apung besutannya itu nantinya mampu memuat sekitar 30 hingga 100 ekor sapi untuk setiap bongkar muat. “Beban ini disesuaikan juga dengan pengiriman sapi yang biasanya di Pelabuhan Rakyat Dungkek yang dilakukan dua kali dalam seminggu, yakni tia[ hari Kamis dan Sabtu,” katanya.

Alwi menegaskan, dermaga yang dirancangnya juga sudah bisa mengantisipasi adanya ombak yang bisa mengenai dermaga apung tersebut nantinya. Untuk itu, ia menambahkan tiang pancang atau dolphin pada beberapa sudut pelabuhan. “Dolphin inilah yang nantinya akan menahan ombak agar tidak langsung mengenai dermaga,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement