Jumat 19 Oct 2018 02:07 WIB

Mahasiswa Disebut Pilar Penting Bangun Generasi Antikorupsi

Kerugian karena korupsi di Indonesia pun semakin tinggi.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Esthi Maharani
Korupsi
Foto: Antara/Andika Wahyu
Korupsi

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Maruli Hutagalung menjadi salah satu pemateri dalam seminar pemberantasan korupsi yang digelar Asian Law Student Association (ALSA) di kampus Unair, Surabaya, Kamis (18/10). Maruli pun menganggap, mahasiswa sebagai pilar penting dalam membangun generasi antikorupsi di masa depan.

“Kita prihatin karena korupsi yang makin masif ini rupanya menggerus integritas publik secara umum, bukan hanya dari sisi pelaku korupsinya. Indeks Perilaku Anti-Korupsi di Indonesia makin menurun, yang menunjukkan ada potensi masyarakat kita makin permisif terhadap korupsi. Ini bahaya,” ujar Maruli.

Maruli menjelaskan, tren Indeks Perilaku Anti-Korupsi (IPAK) menunjukkan penurunan. Pada 2017, IPAK di Indonesia sebesar 3,78, lalu turun menjadi 3,66 pada 2018. IPAK adalah hasil riset BPS dengan ukuran bila mendekati angka 5, maka masyarakat semakin antikorupsi. Sebaliknya, jika makin mendekati angka 0, maka masyarakat makin permisif terhadap korupsi.

Maruli pun mengingatkan, mahasiswa harus sadar akan bahaya tersebut, kemudian bertekad dan bergerak menjadi generasi antikorupsi. "Jangan cuma nongkrong dan pacaran. Ayo tanam perilaku disiplin antikorupsi dari diri sendiri. Mulai dari hal kecil, misalnya jangan mencontek, jangan copy-paste tugas kuliah, jangan bohongi orang tua soal uang jajan,” kata Maruli.

Maruli kemudian mengungkapkan, kerugian karena korupsi di Indonesia pun semakin tinggi. Hanya dalam enam bulan pertama 2018, berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), nilai kerugian Negara karena korupsi menembus angka Rp 1,09 triliun dari 139 kasus korupsi yang terungkap dengan 351 tersangka. Kasus-kasus itu membentang dari kementerian sampai tingkat kabupaten/kota.

Maruli berpendapat, praktik korupsi masih marak karena belum optimalnya tiga pendekatan, yaitu hukum, ekonomi, dan moral. Pencegahan korupsi juga menurutnya masih jargon, karena belum berfokus pada perbaikan sistem hukum, ekonomi, kelembagaan, dan perbaikan SDM.

Budaya korupsi, kata Maruli, makin masif karena iklim politik yang masih berbiaya tinggi. Belum lagi perilaku ”membeli suara” masih banyak terjadi, sehingga membuat kandidat politik berupaya mengembalikan modal saat terpilih menjadi eksekutif maupun legislatif.

”Dalam hal ini, masyarakat perlu tegas untuk menolak kandidat yang melakukan money politics. Kalau mau Indonesia bersih, ya tolak money politics, karena hulu korupsi salah satunya datang dari sana,” kata Maruli.

Dalam situasi korupsi yang makin marak, sambung Maruli, pemberantasan korupsi harus dilakukan semakin tersistematis dan berani tanpa pandang bulu. Sebab, sebagus apa pun Undang-Undang yang dimiliki, jika aparatnya tidak mempunyai keberanian, menurutnya sama saja sia-sia.

“Orang pintar itu banyak, tapi yang berani bisa dihitung jari. Sebagus apapun undang-undang atau peraturan, jika aparatnya tidak punya keberanian, ya percuma,” ujar Maruli.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement