Selasa 04 Sep 2018 16:48 WIB

Perekonomian Syariah Didorong Imbangi Revolusi Industri

Tingkat penetrasi internet dalam aktivitas kehidupan masyarakat capai 57 persen.

Rep: Eric Iskandarsjah/ Red: Yusuf Assidiq
Seminar Nasional dengan tema Peluang dan Tantangan Ekonomi, Keuangan, dan Bisnis Syariah dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0 di UMY.
Foto: Dokumen.
Seminar Nasional dengan tema Peluang dan Tantangan Ekonomi, Keuangan, dan Bisnis Syariah dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0 di UMY.

REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), ada sebanyak 143,26 juta orang yang menggunakan internet di Indonesia, 80 persen dari angka tersebut merupakan jumlah pengguna internet yang dilakukan melalui smartphone. Fakta ini menjadi sebuah peluang yang diambil oleh berbagai pihak, tak terkecuali oleh bidang perbankan syariah dalam menghadapi revolusi industri 4.0.

Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif Asbisindo (Asosiasi Bank Syariah Indonesia), Herbudhi Setio Tomo saat menyampaikan Keynote Speaker dalam Seminar Nasional dengan tema Peluang dan Tantangan Ekonomi, Keuangan, dan Bisnis Syariah dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0 pada pekan lalu di ruang Amphiteater Gedung Kasman Singodimedjo Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Ia pun menekankan bahwa efek dari revolusi industri tersebut harus diikuti.

"Saat ini tingkat penetrasi internet dalam aktivitas kehidupan masyarakat adalah sebesar 57 persen dan diperkirakan pada 2020 akan mencapai 88 persen. Hal ini yang kemudian direspons oleh perbankan dengan melakukan berbagai inovasi yang memudahkan nasabah, misal dengan membuat aplikasi perbankan mobile. Peluang ini juga berlaku bagi Perbankan Syariah, bagaimana mereka mampu beradaptasi dengan perubahan dan kemajuan tersebut. Karena jika dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia, perkembangan Ekonomi Syariah kita termasuk lambat," ungkapnya.

Ia juga menyampaikan bahwa ketika membicarakan ekonomi syariah, bukan hanya soal perbankan namun juga mencakup berbagai kegiatan ekonomi makro lainnya dan ada banyak peluang yang bisa dimanfaatkan. "Misal dalam industri makanan halal dunia, pada 2016 jumlah konsumsi makanan halal adalah sebesar 1.245 miliar dolar dan Indonesia memiliki tingkat konsumsi makanan halal tertinggi di dunia. Sayangnya kita masih berkutat dalam konsumsi dan belum merambah industri produksinya, ini yang kemudian menjadi peluang ekonomi syariah untuk Indonesia. Apalagi Indonesia juga menjadi salah satu destinasi wisata halal dunia," paparnya.

Sedangkan untuk perbankan syariah, Herbudhi menjelaskan bahwa pangsa pasar industri keuangan syariah terus meningkat. Menurutnya, total aset industri keuangan syariah Indonesia hingga Mei 2018 adalah sebesar 8,38 persen terhadap total keuangan nasional. Ini menunjukkan ada peluang yang bisa diambil dan kita ditantang untuk meresponnya.

"Salah satu caranya adalah dengan melakukan sinergi untuk membangun ekosistem ekonomi syariah yang dilakukan oleh setiap elemen. Baik masyarakat, akademisi, media, regulator, dan bank syariah itu sendiri. Misal untuk aspek masyarakat adalah bagaimana mereka mampu untuk membuka rekening dan melakukan transaksi melalui perbankan syariah. Salah satu alasan kenapa masyarakat kurang berminat dengan bank syariah adalah karena fitur dan pelayanan yang belum sama dengan standar bank konvensional. Ini yang jadi salah satu tantangan untuk bank syariah," kata dia.

Seminar nasional tersebut sekaligus menjadi ajang peresmian nomenklatur baru Prodi Ekonomi Syariah Fakultas Agama Islam (FAI) UMY. Dekan FAI UMY Dr Akif Khilmiyah menyampaikan bahwa dengan inovasi tersebut UMY mampu berpartisipasi dalam menghasilkan lulusan yang dapat berkontribusi secara positif dalam perekonomian syariah Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement