Kamis 26 Jul 2018 12:50 WIB

UMM Produksi Mi dan Makaroni Berbahan Umbi Garut

Mi yang dikonsumsi orang Indonesia saat ini umumnya dari tepung terigu.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Dwi Murdaningsih
Staf UMM menunjukkan mi berbahan dasar tepung singkong dan umbi garut.
Foto: umm
Staf UMM menunjukkan mi berbahan dasar tepung singkong dan umbi garut.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Laboratoroium Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP) Fakultas Pertanian Peternakan (FPP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) sedang mengembangkan berbagai produk inovatif berbasis umbi-umbian. Salah satu produk yang saat ini dikembangkan, yakni mi dan makaroni yang terbuat dari campuran tepung singkong dan pati garut. 

Kepala Laboratorium ITP UMM, Damat, mengatakan, mi dan makaroni merupakan jenis makanan yang banyak diminati masyarakat Indonesia. Bahkan, kata dia, trennya terus meningkat dari waktu ke waktu. "Tapi, yang perlu diketahui bahwa mayoritas mi yang diproduksi dan dipasarkan di Indonesia adalah dari tepung terigu yang berasal dari gandum. Sayangnya, sampai hari ini seratus persen masih impor," kata Damat.

Damat menjelaskan, impor gandum masyarakat Indonesia diproyeksi sudah mencapai lebih dari 10 juta ton. Indonesia, kata Damat, menjadi importir gandum terbesar kedua setelah Mesir. Bahkan, berdasarkan data yang dirilis Departemen Pertanian Amerika Serikat, lima tahun lagi Indonesia diproyeksi akan menjadi importir gandum terbesar di dunia.

“Berdasarkan data statistik, tren konsumsi tepung terigu gandum dari tahun ke tahun terus meningkat. Katakanlah kalau kita berhasil mengembangkan produk umbi-umbian ini, tidak mesti lima puluh persen, cukup sepuluh persen kita kuasai pasar, nilainya sudah sangat luar biasa besar,” ujar Damat.

Ditilik nilai gizinya, beberapa jenis umbi-umbian, seperti ubi jalar, singkong, dan umbi garut diketahui memiliki kandungan serat lebih tinggi ketimbang gandum. Selain itu, pada ubi jalar ternyata terbukti kaya antioksidan. Kandungan ini merupakan salah suatu senyawa yang sangat dibutuhkan untuk menjaga kesehatan tubuh.

Sementara itu, tepung terigu mengandung protein khas yang disebut gluten. Protein inilah yang membuat produk roti dapat mengembang baik. Namun, bagi sebagian orang, keberadaan gluten ini justru dapat menimbukan efek negatif. Bagi penyandang autisme, misalnya, mengonsumsi gluten secara berlebihan membuat pengonsumsinya hiperaktif.

Selain itu, bagi mereka yang intoleran terhadap gluten, keberadan gluten juga dapat memicu kerusakan jaringan mikrofili pada usus halus yang dikenal dengan penyakit celiac deases. Jika mikrofili rusak, absorpsi atau penyerapan zat gizi yang dibutuhkan tubuh akan terganggu. Situasi ini, kata dia, dapat berakibat malnutrisi nantinya.

Ke depan, Lab ITP UMM berencana menindaklanjuti produk ini untuk dikembangkan sebagai produk komersial. "Yakni, dengan segera membentuk unit khusus di UMM yang menampung segala inovasi dari sejumlah laboratorium yang ada agar bernilai ekonomis," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement